Asupan gizi bayi usia 0-2 tahun akan menjadi perhatian utama Pemprov Jatim dalam program Aksi Cegah Stunting bersama Direktorat Jenderal Pembangunan Desa Tertinggal (Ditjen PDT).
Seluruh kader dan tenaga medis di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di daerah dengan prevalensi tinggi di Jatim, akan dikerahkan mencegah stunting.
Kerja sama Pemprov Jatim dengan Ditjen PDT Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ini disepakati dalam forum Aksi Cegah Stunting di Kantor DInkes Jatim, kemarin.
Prof. dr. Damayanti Rusli Sjarif Peneliti Tumbuh Kembang dan Gizi Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjadi pembicara di forum itu.
Menurutnya, dari sekitar 75 juta balita stunting di Asia pada 2018, Indonesia menduduki posisi ketiga dengan jumlah prevalensi tertinggi setelah Laos dan Kamboja.
Prof. Damayanti menegaskan, dampak stunting tidak bisa disepelekan. Memang, bayi usia lebih dari 2 tahun, yang mengalami stunting, tinggi dan berat badannya bisa kembali normal. Tapi kecerdasannya tidak.
“Anak stunting akan kehilangan 10 persen kemampuan kognitifnya kalau tidak mendapat perbaikan gizi pada dua tahun pertama,” kata Prof Damayanti kepada peserta forum Aksi Cegah Stunting.
Dia mengatakan, setelah 20 tahun meneliti tumbuh kembang anak, dia temukan penyebab terbesar stunting adalah pemberian makan pada bayi usia 0-2 tahun yang salah.
Ketidaktahuan orang tua tentang asupan gizi yang dibutuhkan bayinya menjadi faktor utama selain kemiskinan dan penyakit. Karena itulah edukasi terhadap orangtua penting dilakukan.
Di era media sosial sekarang ini, Prof Damayanti menyayangkan orang tua lebih percaya informasi tentang asupan gizi anak yang mereka dapatkan bukan dari ahlinya.
Dia mencontohkan salah seorang pasiennya. “Mobilnya BMW. Tapi anaknya stunting. Karena apa, mereka mengikuti cara pemberian makan anaknya dari media sosial,” katanya.
Pasiennya itu memberi makan anaknya dengan bahan makanan bayi yang cukup mahal. Misalnya, bubur kabocha. Makanan pendamping ASI (MPASI) yang diolah dari buah labu asal Jepang.
“Kabocha, lalu brokoli. Dan dia (pasiennya) tidak bekerja, hanya mengurus anaknya saja. Bayangin, anaknya stunting apa tidak patah hatinya? Nangis di depan saya. Karena apa? Salah urus,” katanya.
Dia benarkan, bayi memang membutuhkan MPASI pada usia tertentu. Tapi gizi yang dibutuhkan bayi dari MPASI tidak jauh berbeda dari kandungan yang terdapat di Air Susu Ibu.
Sebanyak 60 persen kandungan ASI adalah lemak. Tujuh persennya adalah protein. Sedangkan sisanya adalah karbohidrat. “Tidak ada sayur dan buah, ya? (Sayur dan buah) itu buat nenek-nenek buat Anda,” katanya.
Dia mengatakan, salah satu kandungan MPASI yang sangat dibutuhkan oleh bayi untuk tumbuh kembang otaknya adalah DHA, yang banyak diketahui terkandung di ikan laut seperti Salmon.
“Itu kata orang eropa, Salmon. Sebenarnya, kita punya ikan yang kandungan DHA-nya tiga kali lipat. Ikan apa coba? Bukan lele. Itu ikan kembung. Nah, murah, kan?” Katanya.
Pemberian asupan gizi bayi di usia 0-2 tahun menurutnya sangat penting diperhatikan orang tua. Sebab, pada 2013 lalu terdata sebanyak 37 persen balita di Indonesia mengalami stunting.
Bila pemberian terhadap balita-balita itu tidak segera dibenahi, Prof. Damayanti mengatakan, pada 2033 mendatang ledakan populasi pemuda yang seharusnya menjadi bonus demografi akan menjadi bencana demografi.(den/dwi)