Utang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk sejumlah Rumah Sakit (RS) di Jawa Timur hingga 26 Juni lalu mencapai Rp1,3 triliun. Sebanyak Rp1,1 triliun di antaranya sudah jatuh tempo.
Handaryo Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah Jawa Timur mengatakan, utang senilai Rp1,1 triliun itulah yang berpotensi terjadi keterlambatan pembayaran pada periode 26 Juni 2019 ini.
“Artinya, utang itulah yang berpotensi menimbulkan denda keterlambatan pembayaran sesuai peraturan, yakni 1 persen setiap bulan,” katanya kepada suarasurabaya.net, Jumat (27/6/2019).
Handaryo mengakui, sampai saat ini dia belum mendapat kabar dari pusat, kapan dana pembayaran utang itu bisa dicairkan. Dia juga mengakui dampak yang bisa muncul akibat keterlambatan pembayaran.
Sejumlah RS yang klaimnya terlambat dibayar oleh BPJS Kesehatan itu bisa saja terganggu cash flow-nya, sehingga secara otomatis akan mengganggu operasional rumah sakit.
Sebab itulah BPJS mendorong RS melakukan skema Supply Chain Financing (SCF), yakni skema kerja sama pendanaan dengan perbankan yang dijembatani BPJS Kesehatan.
Harapannya, dengan SCF, rumah sakit yang belum mendapat pembayaran klaim bisa tetap beroperasi dengan dana talangan dari perbankan. Sedangkan bunganya, nanti bisa dibayarkan dengan denda yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Beberapa waktu lalu RSUD Dr Soetomo, rumah sakit Pemerintah Provinsi Jatim, mengalami kekurangan obat salah satunya karena pembayaran piutang dari BPJS senilai ratusan miliar rupiah belum didapatkan.
Dr Pesta Parulian Muarif Kepala Humas RSUD Dr Soetomo mengatakan, kekurangan obat itu di rumah sakit itu sudah terpenuhi melalui sebuah rapat yang digelar pada Selasa (25/6/2019) lalu.
“Obat sudah tidak ada lagi yang kurang. Kemarin memang ada keterlambatan pengadaan obat, tetapi hari Selasa sudah kami rapatkan dengan Direktur Keuangan, semua kebutuhan obat sesuai formularium RSUD Dr Soetomo sudah terpenuhi,” ujarnya.
Di dalam rapat itu telah disepakati, ada anggaran khusus yang dipakai sesuai Peraturan Direktur untuk pembelian obat, mengingat kebutuhan obat sangat mendesak.
“Sesuai Perdir (peraturan direktur), rumah sakit bisa mengadakan itu (anggaran) kalau misalnya sangat dibutuhkan. Terutama untuk pengadaan barang dan jasa, dan sarpras yang sangat dibutuhkan operasional rumah sakit,” ujarnya.
Namun, dr Pesta menjelaskan, kekurangan obat yang terjadi pada saat itu sebagian besar disebabkan adanya keterlambatan pengiriman barang dari distributor ke RSUD Dr Soetomo.
“Jadi bedakan barang kosong dengan barang tidak ada. Kalau kosongnya dari pabrik, kami tidak bisa memberikan jawaban kapan barang itu ada. Nah, yang terjadi kemarin, ada keterlambatan pengiriman barang karena ada beberapa penyelesaian administrasi yang belum terkoordinasi dengan tuntas,” katanya.
Untuk pengadaan obat-obatan, kata dia, memang membutuhkan waktu. RSUD Dr Soetomo adalah rumah sakit pemerintah, yang mana terdapat sejumlah prosedur yang harus dilalui untuk pengadaan barang dan jasa.
“Selasa siang, pukul 14.00 WIB, kami rapatkan. Semua kebutuhan obat, apakah itu kemoterapi, emergency, dan obat-obat penunjang sudah siap ditransportasikan ke gudang farmasi kami,” ujarnya.
Dia pun memastikan, ke depan tidak ada lagi kendala obat-obatan di RSUD Dr Soetomo. Kalaupun ada kendala, kemungkinan terbesar terjadi hanya karena kendala pengiriman saja.
Dia mengakui, sampai saat ini, klaim BPJS Kesehatan yang diajukan oleh RSUD Dr Soetomo terus berjalan. Piutang RSUD Dr Soetomo yang belum dibayar juga masih ratusan miliar nilainya.
“Saya tidak hafal angkanya, tapi memang masih ratusan miliar. Klaim BPJS tetap berjalan, yang belum dibayarkan sisa-sianya itu tetap ditagihkan. Hanya saja BPJS itu, kan, punya sistem memverifikasi,” katanya.
RSUD Dr Soeteomo tidak sampai mengambil pilihan SCF yang disediakan oleh BPJS Kesehatan. Direksi rumah sakit sudah mengambil keputusan berdasarkan peraturan direktur yang di dalamnya mengatur sejumlah alternatif sumber pembiayaan.
“Memang untuk beberapa distributor (obat), kami melewati batas waktu pembayaran, karena BPJS belum menyelesaikan administrasi. Tapi tidak semua. Pengadaan barang itu sumber dananya banyak. Walaupun hampir semua dari BPJS, ya, tetapi ada mekanisme lain di Perdir untuk alokasi dana kebutuhan darurat,” katanya.
Handaryo Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah Jawa Timur mengatakan, sampai sejauh ini, memang masih banyak rumah sakit di Jawa Timur yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan belum menggunakan skema SCF.
“Dari 325 Rumah Sakit di Jawa Timur, sampai sekarang baru ada 71 rumah sakit yang sudah menggunakan skema SCF. Target kami, sih, kalau bisa seluruhnya. Tapi memang untuk rumah sakit pemerintah ini, yang masih belum ada adalah regulasi,” ujarnya.
Dia mengklaim, sudah sejak beberapa waktu lalu, dirinya telah membicarakan mengenai regulasi yang mengatur tentang SCF ini dengan Pemprov Jatim. Setidaknya berupa Peraturan Gubernur. Dia mengaku sudah membicarakan ini dengan Sekretaris Daerah Pemprov Jatim.
“Tapi sampai sekarang sepertinya belum ada realisasinya. Ya, mungkin Pemprov Jatim masih bisa memberikan dana cadangan atau dana lainnya, untuk menalangi keterlambatan pembayaran kalim BPJS ini,” ujarnya.(den/tin/rst)