Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Usulan itu kemudian disepakati menjadi RUU Insiatif DPR, dalam forum Sidang Paripurna yang digelar hari Kamis (5/9/2019).
Nasir Djamil Anggota Komisi III DPR mengatakan, masyarakat seharusnya tidak menilai usulan revisi itu sebagai upaya melemahkan atau sebaliknya memperkuat KPK.
Menurut legislator dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, akan sangat berbahaya kalau institusi KPK terlalu kuat, sementara tidak ada instrumen yang bisa mengawasinya.
“Sebaiknya seluruh anak bangsa ini berpikir jernih, sehat, kita tidak boleh ada di dua kutub ekstrem kuat lemah-kuat lemah. Kita harus berada di tengah. Karena sebaik-baik perkara ada di tengah. Jadi kita tidak ke kiri dan ke kanan. Tidak termasuk golongan yang ingin melemahkan atau yang termasuk yang menguatkan. Kalau orang terlalu kuat bahaya,” ujarnya dalam diskusi publik yang digelar siang hari ini, Sabtu (7/9/2019), di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Supaya KPK bisa dikontrol dan tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya, DPR berupaya mengevaluasi Undang-Undang KPK, dengan memasukkan berbagai instrumen, salah satunya dewan pengawas.
“Jangan sampai KPK tidak bisa dikontrol, dan tidak boleh juga KPK mengatakan bisa mengontrol diri sendiri, menjalankan tugas sesuai prosedur standar,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Nasir menduga budaya kerja di lingkungan KPK tidak sehat, karena ada rasa saling curiga. Misalnya, orang yang bertugas di lantai satu, akan dicurigai kalau masuk ke lantai lain.
“Kalau mau jujur, budaya kerja di KPK itu kan saling mencurigai. Konon beberapa teman menyampaikan, tidak tau benar atau tidak, antara lantai satu lantai lain masuk ke lantai lain, itu masuk penuh kecurigaan,” ucap legislator dapil Aceh tersebut.
Dalam forum yang sama, Abraham Samad mantan Ketua KPK secara khusus membantah pernyataan Nasir Djamil mengenai budaya kerja saling mencurigai di lingkungan KPK.
Samad mengatakan, budaya kerja KPK adalah yang paling ideal di antara lembaga/institusi negara di Indonesia. Karena, ada kode etik ketat yang menjaga seluruh pegawai dan pimpinan KPK terhadap potensi penyimpangan.
Sedangkan terkait pengawasan, Samad menyebut KPK punya Pengawas Internal yang menurutnya sudah berfungsi dengan baik.
Sekadar informasi, internal KPK menolak rencana revisi Undang Undang KPK yang diinisiasi DPR.
Menurut KPK, ada sembilan persoalan di dalam draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja komisi antirasuah.
Antara lain, independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan atau dibatasi. Lalu, KPK juga menolak pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, pembatasan sumber penyelidik dan penyidik, serta mekanisme penuntutan perkara korupsi yang harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Kemudian, dalam revisi usulan DPR itu, KPK menilai perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria.
Selain itu, kewenangan pengambilalihan perkara pada tahap penuntutan dipangkas, kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. (rid/iss)