Rencana revisi Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang hingga saat ini dikatakan banyak pihak masih “gelap”, membuat banyak pihak berspekulasi.
Sahura, advokat publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengatakan, hingga saat ini, LBH belum mendapatkan draft revisi UU ini. Meski begitu, pembahasan UU ini telah masuk Prolegnas di DPR RI periode 2014-2019.
“Nah kami memang mencari, tidak ada. Susah. Gak tau, sengaja disembunyikan atau apa. Cuman intinya wacana itu sempat muncul,” ujar Sahura ketika ditemui usai menjadi pembicara di diskusi HRLS FH Unair pada Jumat (4/10/2019).
Meski begitu, tanda-tanda bahwa UU ini lebih berpihak pada pengusaha daripada buruh bisa dilihat dari statemen-statemen pejabat pemerintah beberapa waktu belakangan.
“Ini bukan statemen yang bukan sekali. Misal, Jokowi bilang ada 74 regulasi yang menghambat investasi. Pasti menyambung ke UU Ketenagakerjaan. Itu memang susah. Kita gak boleh remehkan. Kita punya pengalaman UU diketok tanpa proses. Ini sudah masuk prolegnas,” ujarnya.
“Secara umum, ketimbang ini melemahkan posisi butuh, kawan buruh dan LBH jelas menolak. Revisi UU Ketenagakerjaan semangatnya berbeda. Ini untuk memperkuat investasi,” lanjutnya.
Hal senada juga disampaikan Arief Supriyono Ketua BPJS Watch Jatim. Ia menduga, meski regulasi ini terbilang gelap atau tidak jelas kelanjutannya, tapi ia meyakini UU ini akan segera diluncurkan.
“Kekhawatiran buruh pada konteks, kalau memang revisi ini memang ada, harus menyampaikan draftnya, sehingga ada legal opinion yang dilakukan akademisi atau para pakar hukum untuk melihat pada konteks apa revisi itu,” kata Arief.
“Hampir 50 persen dari legislatif DPR (DPR RI periode 2019-2024) adalah pengusaha, bisa jadi ini akan dilakukan upaya segera merevisi. Ini dugaan, dan ketakutan,” lanjutnya.
Kembali, Sahura menilai, UU ketenagakerjaan saat ini sudah cukup baik. Meski, ada persoalan seperti outsourcing yang ia tolak. Namun, dengan adanya rencana revisi, hal ini makin menimbulkan persepsi jika revisi baru akan lebih menguntungkan pengusaha.
“Secara umum, UU Ketenagakerjaan bagi kami bagus, meski ada kelemahan. Misal soal hak-hak pekerja yang di PHK. (Pasal, red) 156 dan seterusnya. Kemudian tidak ada upaya paksa yang kuat di UU bahwa misalkan dia PHK atau pensiun, harus diberikan (haknya, red) tanpa perlu menempuh upaya hukum,” jelasnya.
Sedangkan, Arief menyoroti tentang penindakan aturan dalam UU Ketenagakerjaan yang masih lemah. Ia menyontohkan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja (PPJP) yang dalam kasus tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
“Sudah diatur itu di UU 13/2003, bahwa pemberi kerja wajib memberi kesejahteraan pada pekerja dan keluarganya. Selain upah, juga jaminan sosialnya,” jelasnya.
Melihat berbagai persoalan tersebut, Arief menyakini arah revisi UU Ketenagakerjaan lebih ditujukan untuk menarik investor dan berhubungan dengan permintaan pengusaha.
“Arah revisi, menarik investor, tenaga kerja yang lebih fleksibel, upah murah, kemudahan melakukan PHK, dan permintaan pengusaha,” pungkasnya. (bas/iss/ipg)