Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur bersama Pimpinan DPRD sudah menyepakati bersama Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengarusutamaan Gender, Jumat (16/8/2019).
Setelah disepakati dalam Rapat Paripurna di DPRD Jatim, Raperda itu akan segera disahkan menjadi Perda Pengarusutamaan Gender setelah melalui proses evaluasi Menteri Dalam Negeri.
Khofifah berharap, setelah adanya Perda ini terwujudnya kesetaraan gender di Jawa Timur. Yang mana laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia secara adil.
“Supaya laki-laki dan perempuan mampu dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahana dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan,” katanya.
Dia juga berharap, setelah disahkannya Perda itu perempuan di Jawa Timur berani mengambil keputusan. Terutama berkaitan dengan masalah-masalah yang menimpa keluarganya.
Misalnya, tentang maraknya kasus asusila terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga terdekat. Khofifah menyebutnya kasus incest yang pelaku terbanyak ayah, kedua kakak kandung, ketiga paman.
Berdasarkan pengalamannya sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial, kasus semacam ini biasanya sangat tertutup atau silent. Karena keluarga akan cenderung memproteksi.
“Maka perda ini menjadi penting, bagaimana gender mainstreaming, itu perempuan berani mengambil keputusan. Bukan berani-beranian apa. Berani ambil keputusan: ini sesuatu yang saya harus berteriak, ini sesuatu yang saya harus laporkan. Tapi itu tidak gampang,” katanya.
Korban incest yang biasanya adalah anak di lingkungan keluarga itu menjadi pertimbangan yang berat. Kalau seorang ibu melaporkan kepada lapor ke polisi, lalu kasus itu di-publish, dampaknya luar biasa.
“Setelah lapor polis, terus pulang, dadi opo arek iku? (jadi apa anak itu?). Karena itu kami punya tempat. Shelter-shelter yang menjadi penting. Karena terapi psikososial itu menjadi penting bagi korban,” ujarnya.
Sebagai mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan, dia setuju masalah seperti incest ini memang tidak perlu di-publish ke publik, tapi juga harus ditangani dengan cara-cara yang solutif.
“Saya lebih senang itu silent tapi solutif. Karena kalau ini di-publish, malunya anak ini masa depan. Belum lagi keluarga, belum lagi keluarga samping. Wes tah rek aku cerita ngene iki sedih, aku,” katanya.
Perempuan sebagai ibu tetap bisa melaporkan hal ini. Tidak melalui polisi, tapi melalui shelter-shelter yang ada.
Shelter yang dia maksud adalah Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang menjadi bagian dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Masalahnya, shelter seperti itu belum merata di kabupaten/kota. Sementara kewenangan unit pelaksana teknis yang membawahi shelter adalah kewenangan Pemerintah kabupaten/kota.
“Shelter itu, memang Pemprov ndak boleh punya UPT (unit pelaksana teknis). Kementerian sosial saja sudah ndak boleh punya UPT. Belum, belum semua (kabupaten/kota punya shelter),” ujarnya.
Khofifah akan memberikan imbauan kepada pemkab dan pemkot di Jawa Timur untuk menginisiasi shelter-shelter di daerah masing-masing setelah Perda Pengarusutamaan Gender itu disahkan.
Perlu diketahui, Perda ini berlandaskan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah ada, yang mengatur tentang persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan.
Di antaranya UUD 1945 pasal 28A sampai pasal 28J; UU 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita; UU 21/1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan; serta UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.(den/tin/iss)