Djoko Setijowarno Pengamat transportasi Universitas Soegijapranata menilai perlu terus digalakkan edukasi bagi pengemudi di jalan tol menyusul banyak kecelakaan seperti di Jalan Tol Cipali dan Trans-Jawa.
Djoko menjelaskan seperti yang dilansir Antara di Jakarta, Minggu (3/3/2019), pemasangan rambu batas kecepatan maksimal dan minimal tidak serta merta membuat pengemudi mematuhinya.
“Bahkan, dengan bangganya, pengguna tol melaju dengan kecepatan tinggi, seolah jalan tol itu sirkuit balapan mobil,” katanya.
Pernyataan tersebut dikatakannya menyusul setidaknya dua kecelakaan tabrak belakang oleh truk yang pertama terjadi di KM 349 Tol Batang dengan meninggal satu orang dan KM 604 Tol Madiun, yang menyebabkan korban meninggal tiga orang seketika.
Kejadian di Tol Batang itu melibatkan kendaraan yang membawa Bupati Demak, Jateng.
Menurut Djoko, keberadaan Tol Trans Jawa diharapkan dapat melancarkan logistik. Namun, kurang dipahami bahwa truk barang di Indonesia tidak dirancang berkecepatan tinggi. Terlebih, jika membawa barang, maka lajunya tidak bisa lebih dari 40 kilometer per jam.
Di sisi lain, lanjutnya, Kementerian Perhubungan sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan.
Penetapan batas kecepatan ini dimaksudkan untuk mencegah kejadian dan fatalitas kecelakaan serta mempertahankan mobilitas lalu lintas dan juga bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Batas kecepatan paling rendah yakni 60 kilometer per jam dan paling tinggi 100 kilometer per jam untuk jalan bebas hambatan (termasuk di dalamnya jalan tol).
Sedangkan, di jalan antarkota seperti Pantura Jawa maksimal 80 kilometer per jam, jalan kawasan perkotaan paling tinggi 50 kilometer per jam, dan maksimal 30 kilometer per jam untuk jalan kawasan permukiman.
Djoko menilai penegakan aturan yang sudah dikeluarkan Kementerian Perhubungan oleh aparat kepolisian sudah saatnya diberlakukan.
Dia juga mengatakan jalan tol perlu dilengkapi kamera pemantau kecepatan (speed camera) untuk membantu polisi melakukan tindak pelanggaran (tilang) terhadap pelanggar batas kecepatan.
“Edukasi terhadap pengemudi pengguna tol perlu digalakkan. Jalan tol yang nyaman dapat mengakibatkan micro sleep,” katanya.
Micro sleep terjadi di kisaran empat hingga lima detik yang jika terjadi kecelakaan bisa berakibat fatal.
Oleh sebab itu, Djoko menyatakan, setiap dua hingga tiga jam berkendara di jalan tol, pengemudi harus beristirahat di tempat istirahat yang sudah tersedia atau memilih keluar tol mencari rumah makan dan beristirahat 30 menit.
Kendaraan juga pun perlu beristirahat untuk menghindari pecah ban, katanya.
Waktu kerja pengemudi juga sudah diatur dalam Pasal 90 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, yaitu delapan jam sehari.
“Jika mengemudi empat jam berturut-turut, wajib beristirahat minimal 30 menit. Namun, dalam hal tertentu dapat mengemudi paling lama 12 jam sehari termasuk waktu istirahat selama satu jam,” katanya.
Untuk mobil bus dan truk, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub sudah menerbitkan aturan alat pemantul cahaya tambahan (APCT).
Tetapi, baru berlaku 1 Mei 2019 untuk mobil bus dan truk baru dan 1 September 2019 untuk mobil mobil dan truk yang sudah operasional.
Harapannya dengan APCT, akan dapat mengurangi tabrak dari belakang terutama di malam hari karena ada pantulan cahaya dari mobil tersebut.
“Jalan tol dibangun untuk kelancaran mobilitas penumpang dan barang. Jalan tol bukan sirkuit arena balap mobil. Tidak bisa tiba dengan selamat hingga di tujuan, jika terjadi kecelakaan dalam perjalanan,” katanya.(ant/tin/dwi)