Sabtu, 23 November 2024

Peneliti HAM Khawatir Otoritarianisme Menguat di Periode Kedua Jokowi

Laporan oleh Agung Hari Baskoro
Bagikan
Komposisi menteri di kabinet Maju 2019-2024 yang diumumkan Joko Widodo Presiden pada Rabu (23/10/2019) pagi. Foto: Farid suarasurabaya.net

Komposisi menteri di kabinet Maju 2019-2024 yang diumumkan Joko Widodo Presiden pada Rabu (23/10/2019) pagi dinilai memperkuat potensi otoritarianisme di lima tahun kedepan.

Herlambang P Wiratraman Peneliti Hukum HAM Unair mengatakan, berhasilnya kelompok penguasa dalam mengakumulasi kekuatan yang ada dengan menggandeng oposisi di pemerintahan adalah penanda besar gangguan di demokrasi.

Ini berkaitan dengan masuknya Gerindra partai penantang terkuat di pilpres 2019 ke dalam kubu pemerintah. Prabowo Subianto Ketua Umum Gerindra mendapat posisi menteri pertahanan dan Edhy Prabowo Wakil Ketua Umum Gerindra sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

“Saya khawatir jalannya demokrasi di Indonesia makin susah. Orientasi politik kekuasaan dengan membagi kursi pada kekuasaan yang ada saat ini, menghilangkan oposisi efektif di dalam sistem politik kita. Kalau sudah ini terjadi, yang ketiga bahwa tentu tantangan besar bagi demokratisasi dan HAM di republik ini,” ujar Herlambang pada Rabu (23/10/2019).

Hilangnya oposisi kuat berarti hilangnya penyeimbang kekuatan pemerintah. Hal ini memperkuat munculnya absolutisme di periode kedua pemerintahan Jokowi. Tak hanya itu, nama-nama yang diduga berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM berat dalam komposisi kabinet menambah situasi sulit menjadi berlapis.

“Kedua, agenda-agenda demokrasi dan HAM sebenarnya lebih terganggu. Akan menghadapi komposisi politik elit yang sebenarnya menjadi bagian dari situasi yang menghambat upaya penyelesaian HAM,” jelasnya.

Ia kembali mengingatkan, jika penyelesaian kasus HAM berat di pemerintahan Jokowi periode pertama terbilang mengecewakan. Dalam lima tahun, banyak kasus HAM berat tidak terselesaikan dan makin mengarah menuju impunitas.

“Tapi kita menyaksikan secara langsung kasus HAM berat masa lalu berhenti. Tidak ada penyelesaikan. Kunci untuk membuka itu presiden itu sendiri. Dia pemimpin semua kementerian. Kasus seperti Munir dalam kaitannya dengan dokumen DPR itu seperti rute yang begitu terjal dan tajam. Mau dibawa kemana politik hukum pelanggaran HAM masa lalu itu di kabinet sekarang?” tegasnya.

Ia mengajak, agar publik memahami kondisi yang terjadi saat ini. Ia meminta publik agar tetap optimis dan terus membangun kekuatan masyarakat yang lebih efektif untuk mengontrol jalannya kebijakan pemerintah.

“Saya ingatkan, bahwa demokrasi bukan agenda elit tapi agenda publik. Agenda kita semua. Sehingga kritik atau ekspresi publik menjadi penting nilainya dalam situasi saat ini,” pungkasnya. (bas/dwi/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs