Kirana Pritasari Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan mengatakan, pemerintah tengah mempersiapkan layanan aborsi aman yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.
“Perlu proses karena permasalahan tidak sederhana. Cakupan Indonesia juga sangat luas, tidak hanya Jakarta,” kata Kirana saat dihubungi Antara di Jakarta, Selasa (19/2/2019).
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebenarnya melarang praktik aborsi. Namun, larangan aborsi dikecualikan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga mengatur tentang usia kehamilan yang diperbolehkan melakukan aborsi.
Menurut Pasal 31 Peraturan tersebut, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
“Kami sedang menyiapkan peraturan yang lebih operasional. Untuk beberapa rumah sakit, terutama rumah sakit pendidikan, sudah ada tim untuk melakukan aborsi aman yang terpadu, termasuk layanan konseling oleh psikolog dan psikiater,” jelasnya.
Di luar rumah sakit-rumah sakit pendidikan tersebut, Kirana mengatakan praktik aborsi harus dilakukan secara hati-hati, terutama untuk kehamilan akibat perkosaan.
Penyelenggaraan pelayanan aborsi diatur lebih detail dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
“Tim harus dilatih. Juga perlu koordinasi dengan kepolisian untuk kasus perkosaan,” ujarnya.
Untuk menyediakan layanan aborsi aman yang dikecualikan oleh undang-undang, Kirana mengatakan sedang mempersiapkan tim fasilitator dan berkoordinasi dengan organisasi profesi.
Tenaga kesehatan yang boleh melakukan aborsi aman harus terlatih dan tersertifikasi. Hingga saat ini, mekanisme pelatihan bagi tenaga medis masih dalam pembahasan. (ant/wil/ipg)