Peliputan Bencana menjadi salah satu kompetensi yang harus dimiliki wartawan. Pasalnya, peliputan bencana memiiki dampak besar pada berbagai hal, salah satunya pariwisata. Arief Yahya Menteri Pariwisata mengatakan, peliputan bencana yang tidak menimbulkan optimisme, bisa sangat berdampak negatif pada pariwisata.
“Thaliand yang diangkat ketika terjadi bencana, fokus pada humanismenya. Jepang fokus pada recovery, bukan pada bencananya,” kata Arief ketika menjadi pembicara sesi pararel konvensi nasional media massa di Hotel Sheraton, Surabaya pada Jumat (8/2/2019).
Sejalan dengan itu, Sirikit Syah Dosen Stikosa AWS mengatakan, peliputan bencana harus didasari oleh standar dan etika. Ia menilai, saat ini masih banyak media yang kurang memahami peliputan bencana yang baik. Ia mencontohkan, ada media yang menuliskan berita dengan judul “Indonesia Diprediksi Alami 2500 Bencana pada 2019. Siapkah Kita?”. Menurutnya, judul berita seperti ini tidak baik karena berita tidak perlu pakai tanda tanya, dan melemparkan ketakutan.
Ia mengatakan, media massa harus mampu membangun harapan ketika meliput peristiwa bencana, bukan menunjukkan betapa mengerikannya suatu bencana.
“Body Bag Journalism, jurnalisme kantung mayat, melihatkan banyaknya kantung mayat. Ada siaran langsung, misal ada orang kena gelombang dan meninggal. Ini dianggap sama seperti menyiarkan langsung pembunuhan atau bunuh diri,” ujarnya.
Pada forum yang menjadi bagian rangkaian perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2019, Sirikit Syah mengusulkan beberapa hal untuk menjadi pegangan wartawan ketika meliput bencana, yaitu empati pada korban dan keluarga korban, Jangan mengeksploitasi, Membangun harapan, tidak berfokus pada keluarga korban, bersikap skeptis pada kunjungan pejabat, terutama di masa kampanye, memberi nuansa saintifik, dan empati pada publik.
Arifin Asydhad Pemimpin Redaksi Kumparan mengatakan, media massa memiiki peran penting sebagai verifikator informasi di masyarakat. Masyarakat setelah terpapar media sosial, bahwa ada bencana, akan melakukan verifikasi pada media massa. Sehingga menurutnya, meski kecepatan dalam peliputan bencana penting, tapi akurasi tetap harus didahulukan.
‘Harus Sadar dan Tanggung Jawab. Kita harus sama-sama menyadari, apapun yang kita tulis harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Di akhir, Imam Wahyudi Anggota Dewan Pers menegaskan, wartawan harus memahami semua aspek yang melingkupi suatu peristiwa bencana. Wartawan harus memiliki etika yang baik sehingga tidak ikut menjadi bagian dari masalah.
“Jangan menjadi bagian dari masalah, lakukan verifikasi, empati pada korban, dan jangan mengeksploitasi korban,” ujarnya. (bas/iss)