Pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden yang tercantum dalam RUU KUHP pasal 219 dipertanyakan sejumlah pihak karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pasal serupa tidak sesuai dengan UUD 1945.
“Ini aneh, DPR menghidupkan lagi yang sudah dibatalkan MK. Yang krusial dari pasal ini bagaimana membedakan itu kritik dan penghinaan,” kata Abdul Manan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Abdul Manan mengatakan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden pernah memakan korban pada 2003, yakni Rakyat Merdeka dimejahijaukan karena menulis berita berjudul “Mulut Mega Bau Solar”, “Mega Lebih Kejam dari Sumanto”, “Mega Lintah Darat” dan “Mega Sekelas Bupati”.
Supratman Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka, divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan karena terbukti melanggar Pasal 137 KUHP dengan melakukan pencemaran nama baik Megawati Sukarnoputri yang kala itu menjabat sebagai presiden.
“Apakah pasal begitu yang mau dihidupkan lagi? Harusnya memberikan kesempatan untuk media melakukan kontrol sosial terhadap presiden dan wakil presiden,” kata Manan kepada Antara.
Senada, Ade Wahyudin Direktur Eksekutif LBH Pers juga mempertanyakan dimasukannya pasal yang sudah diputuskan melanggar konstitusi.
“Tentu saja dianggap oleh kami sebagai pembangkangan konstitusi. Lebih jauh, ya kan, untuk apa ada lembaga konstitusi kalau, misalkan, putusannya tidak dipatuhi?” kata Ade.
Semestinya pemerintah mau pun legislatif mencontohkan kepada publik tidak membangkang terhadap putusan MK.
Apabila pemerintah dan DPR tetap mengesahkan KUHP dengan pasal-pasal yang ada dalam rancangan, pihaknya berencana melakukan beberapa tindakan.
“Entah itu secara konstitusional judicial review atau misalkan melakukan lobi-lobi lagi, meskipun kalau lobi-lobi sudah, kami ikut kirim pendapat hukum juga ke DPR, tetapi sampai saat ini belum dihiraukan,” ucap Ade.(ant/iss/ipg)