Saiful Rachman Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur menegaskan, penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA di Jawa Timur kembali ke sistem lama, mengutamakan nilai Ujian Nasional (UN) sebagai tolok ukur penerimaan siswa baru sehingga siswa bisa memilih sekolah di luar zona.
Dia mengklaim, sistem PPDB Jatim yang tadinya mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 51 tahun 2018 dan surat edaran (SE) bersama Mendikbud dengan Mendagri nomor 420/2973/SJ tentang PPDB, kini disesuaikan dengan keinginan masyarakat.
Prinsipnya, kata Saiful Rachman, tetap sama. Ada empat jalur penerimaan peserta didik baru. Berdasarkan zonasi, prestasi, siswa yang mengikuti perpindahan orang tua (mutasi), dan jalur untuk siswa tidak mampu. Bedanya, untuk jalur zonasi, Pemprov Jatim kembali menerapkan nilai UN sebagai tolok ukur penerimaan siswa.
“Jadi lima persen jalur prestasi, lima persen perpindahan orang tua (mutasi), lalu 20 persen jalur warga miskin. Ini semua offline. Di antara 20 persen itu, ada lima persen kuota untuk putra-putri buruh yang tidak mampu. Sisanya, 70 persen itu zonasi. Siswa harus fight secara online dengan standar nilai UN,” ujarnya.
Artinya, siswa yang mendaftar bukan melalui jalur prestasi, bukan merupakan bagian dari program mitra warga (tidak mampu), dan juga bukan karena orangtuanya pindah domisili, akan bersaing dalam PPDB ini berdasar nilai UN, tidak lagi berdasarkan jarak, dan tidak hanya terpaku di zonanya saja.
“Bisa. Sangat bisa. Siswa sangat bisa memilih sekolah di luar zona,” katanya.
Padahal, hal ini agak berbeda dengan aturan yang ada di dalam Permendagri 51/2018. “SE menteri itu, kan, sebagai pedoman. Kami sudah gunakan zonasi ini sejak tiga tahun lalu. Kalau sesuai SE, agak menyulitkan.”
Menyulitkan, kata Saiful, karena sesuai aturan dalam Permendagri yang ditegaskan dengan SE bersama dua menteri, 90 persen dari total kuota harus berada di dalam zona dan tidak bisa memilih sekolah di luar zona. Selain itu, Nilai UN tidak menjadi tolok ukur, melainkan jarak rumah ke sekolah.
“Kalau 90 persen dalam zona itu sangat menyulitkan karena kurang ada pemerataan pada anak-anak kita yang mampu, yang pengen mendapatkan fasilitas yang baik. Kecuali kalau fasilitas sekolah kita (SMA di Jawa Timur) sudah bagus semua, saya kira zona itu bisa dilakukan,” katanya.
Sesuai amanat dalam SE bersama Mendikbud dengan Mendagri nomor 420/2973/SJ tentang PPDB, setiap sekolah di berbagai daerah di Indonesia wajib menerapkan sistem PPDB sesuai Permendagri 51/2018 atau akan terkena sanksi.
Saiful Rahman dalam kesempatan bertemu dengan perwakilan orang tua siswa dalam hearing di Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur, beberapa waktu lalu, sempat mengemukakan kekhawatirannya mengenai sanksi itu.
Dia khawatir, bila Permendagri tentang PPDB itu tidak sepenuhnya diterapkan, SMA Negeri di Jawa Timur akan menghadapi sanksi tidak masuknya sekolah ke dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan tidak adanya fasilitas bantuan pemerintah (Bantuan Operasional Sekolah/BOS).
“Soal sanksi, Bu Gubernur (Khofifah Indar Parawansa) sudah mau mengomunikasikan dengan Pak Mendikbud soal sanksi ini. Yang namanya setiap aturan pasti ada sanksi (bila tidak diterapkan, red), tapi sanksi harus memperhitungkan kondisi dan situasi. Percuma kalau kami terapkan (Permendagri 51/2018) tapi didemo terus, kan, ya, enggak jalan,” ujarnya.(den/dwi/ipg)