Sejumlah musikus Surabaya berkumpul di Makam Wage Rudolf Supratman di Surabaya, berziarah dan berdoa bersama dalam rangka aksi penolakan Rancangan Undang-Undang Permusikan, Minggu (10/2/2019).
“Ini langkah awal. Kami berkumpul di sini, di pusara tokoh besar permusikan Indonesia, untuk berdoa dan merencanakan aksi penolakan yang lebih besar,” ujar Ndimas Narko Utomo, Kordinator Aksi.
W.R. Soepratman, kata dia, menjadi tokoh yang merepresentasikan dunia musik tanah air. Hari kelahirannya ditetapkan dan diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Musik Nasional.
Kelompok musikus yang akan melakukan aksi bersama-sama itu memandang, Rancangan Undang-Undang Permusikan menunjukkan pemerintahan yang antikritik.
“Ketika pemerintah sudah antikritik mau menjadi apa negeri kita? Ketika musisi dibungkam, apa kabar besok dengan teman tari, teater, sastra yang lainnya di dunia kreatif? Apakah tidak ada kemungkinan dikekang juga? Makanya kami ambil sikap menolak RUU ini,” ujarnya.
Ndimas mengatakan, Kamis (14/2/2019) besok mereka akan menggelar aksi penolakan RUU Permusikan ini di Surabaya.
Rangkaian aksi penolakan ini, kata dia, juga akan berlangsung di daerah lain di Jawa Timur. Seperti di Malang, Gresik, Mojokerto, Lamongan, dan Tuban.
“Kamis besok sekitar 500 orang dari semua komunitas: musisi, kelompok pengamen jalanan, komunitas sastra, dan lainnya. Kami akan orasi di depan DPRD Jatim,” ujarnya.
Dalam aksi itu, para musikus berencana mengajak anggota DPRD Jatim yang membidangi permusikan di untuk berdiskusi. Tapi sebelum itu, hari ini mereka berdiskusi dengan akademisi.
“Kami akan membahas semua pasal itu, ada 19 pasal yang akan kami bahas bersama Era Academia. Jadi tida hanya melibatkan teman musisi, juga teman-teman akademisi,” kata dia.
Kajian secara akademis atas sejumlah pasal yang mereka anggap tidak relevan itulah yang nanti akan menjadi bahan tuntutan dalam aksi unjuk rasa penolakan RUU Permusikan Kamis pekan depan.
Salah satu pasal yang saat ini banyak dipermasalahkan oleh khalayak musik tanah air adalah Pasal 5 RUU Permusikan. Pasal itu, kata Ndimas, akan menjadi pasal karet.
Tujuh poin yang termuat di pasal 5 dianggap membatasi musisi dalam melakukan proses kreatif. Ada larangan bagi musikus di pasal ini, salah satunya tidak membuat musik yang membawa pengaruh negatif budaya asing.
“Kami akan mengkajinya secara akademis, seluruhnya. 19 pasal yang tidak relevan sehingga harus dihilangkan. Selain pasal 5, ada lagi soal industri. Kalau industri dipukul rata ibarat kata disamakan dengan korporasi besar. Ini akan jadi boomerang. Banyak label kecil dan pengusaha kreatif yang akhirnya gulung tikar,” ujarnya
Ndimas sendiri mengaku membayangkan, bila RUU Permusikan ini kemudian disahkan tanpa adanya revisi dan penghilangan pasal-pasal itu, penjara akan dipenuhi banyak musikus.(den/dwi)