Herlambang P Wiratraman pegiat HAM sekaligus Peneliti HRLS FH Unair menilai, inisiatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu selama lima tahun pemerintahan Joko Widodo Presiden, nihil.
Ia bahkan menyebut, proses yang terjadi selama pemerintahan Jokowi justru memperkuat mata rantai impunitas. Ia menegaskan, selama lima tahun terakhir, proses penegakan hukum HAM masa lalu tidak banyak dilakukan dan justru terhenti.
“Proses yang dilakukan tidak berbasis pada rasa keadilan korban. Kemudian mekanisme yang dilakukan justru di luar rel hukum yang misalnya mendirikan Dewan kerukunan Nasional dan proses-proses yang justru di luar mandat UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maupun UU 39 tahun 1999 (tentang HAM, red),” ujar Herlambang bertepatan dengan Hari HAM pada Selasa (10/12/2019).
Selain itu, ia menjelaskan, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM justru terjadi dan lahir dari dorongan inisiatif. Ia menyontohkan lahirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang merupakan mandat dari MoU Helsinski dan UU nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
“Dalam kasus KKR Aceh, sungguh menunjukkan ada upaya penyelesaian dari dengar pendapat korban. Kesaksian untuk memaparkan kasus pelanggaran HAM masa lalu di masa DOM Aceh. Tapi sayangnya pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh mendukung inisiatif yang ada. Padahal KKR Aceh merupakan mandat MoU Helsinski dan UU pemerintahan Aceh,” jelasnya.
Selain penyelesaian kasus HAM berat di masa lalu, ia juga menyorot mengenai pelanggaran HAM yang terjadi dalam 5 tahun terakhir. Ia menilai, pelanggaran HAM justru menguat dilihat dari beberapa indikasi.
“Itu ditandai dengan pengerdilan ruang-ruang kebebasan publik. Pelanggaran kebebasan berkumpul, berpendapat, juga di kalangan akademisi, ada kebebasan akademik yang juga diserang. Ini terus menerus terjadi, ditengah bekerjanya politik oligarki yang juga begitu kuat menggusur tanah-tanah rakyat, hak-hak komunal masyarakat adat, dan juga bagaimana petani banyak kehilangan lahan produktifnya untuk kepentigan investasi, perkebunan sawit, dan tambang-tambang dalam skala besar,” katanya.
Menurut Herlambang, ada dua jenis pelanggaran yang paling banyak terjadi di lima tahun pemerintahan Jokowi. Pertama, pelanggaran HAM berkaitan dengan kasus Sumber Daya Alam (SDA) dan kedua terkait kasus kebebasan berekspresi.
“Tren terbesarnya kalau dari amatan syaa, berkaitan dengan kasus SDA (Sumber Daya Manusia, red). Misalnya menyingkiran hak masyarakat adat karena tambang, batu bara, atau ekspansi perkebunan ke sawit, itu berujung pada kriminalisasi berujung dengan bahkan ada yang terbunuh karena konflik horisontal,” jelasnya.
“Dan ini tidak ada kepastian hukum, itu jelas merupakan bagian dari proses pelanggaran HAM sistematis yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi. Yang tren berikutnya, serangan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, berkumpul, dan pers. Trennya semakin meningkat tahun-tahun belakangan ini,” lanjutnya.
Ia menilai, hal ini terjadi karena adanya faktor warisan otoritarianisme Orde Baru yang tidak sungguh terpatahkan. Impunitas jadi jawaban kasus-kasus pelanggaran HAM berat, atau yang sedang terjadi. Penegakan hukum cenderung diskriminatif. Selain itu, kasus yang menimpa para pembela HAM di Indonesia juga menambah catatan buruk penegakan ham di negeri ini.
“Baik itu aktivis anti korupsi, mereka yang berjuang membantu masyarakat, bahkan penyelenggara negara seperti Novel Baswedan tidak tuntas kasusnya. Ada setumpuk agenda, dan pidato kenegaraan Jokowi sama sekali tidak bicara hak asasi. Didalam pidato kenegaraan 16 Agustus yang lalu. Bagi saya ini pesan penting, bahwa negara tidak pernah sungguh-sungguh menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, dan kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat ini,” tegasnya. (bas/tin/rst)