Jumat, 22 November 2024

Layanan Rehabilitasi Pecandu Narkotika Wajib Sesuai Standarisasi Nasional

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
ilustrasi, fimela.com

Hendro Kusumo Direktur Pengembangan Standar Infrastruktur, Penilaian Kesesuaian, Personal, dan Ekonomi Kreatif Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyatakan bahwa layanan rehabilitasi pecandu narkotika wajib sesuai standarisasi nasional agar efektif.

Oleh karena itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) bersama Kementrian Koordinator Pembangunan Manusia (Kemenko PMK) menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI).

“Sampai saat ini, penyelenggara layanan rehabilitasi pengguna narkotika belum memiliki standar yang sama. Bahkan perlunya standar nasional layanan rehabilitasi ini sempat pula disinggung oleh temuan Ombusdman karena perbedaan masing-masing layanan publik itu yang berdampak langsung ke masyarakat pengguna, baik dalam bentuk layanan yang akan diterima maupun biaya yang harus ditanggung,” terang Hendro Kusumo, Rabu (6/11/2019).

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2017, terdapat 3.376.115 orang penyalahguna Napza, dengan 1 juta orang dalam kategori prioritas untuk rehabilitasi.

Sesuai dengan Pasal 54 UU no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, mengamanatkan bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Berdasarkan catatan BNN, lanjut Hendro, sampai tahun 2018 terdapat sekitar 923 lembaga rehabilitasi yang mampu melayani sekitar 30.000 pecandu, dimana pengelolaan lembaga rehabilitasi tersebut antara lain dilakukan oleh: Kementerian Sosial yang melayani 2.204 orang; Instansi Penerima Wajib Lapor/IPWL dengan 788 institusi seperti: BNN, Kementerian Kesehatan, POLRI, dan KemenkumHAM yang melayani 9.415 orang; serta lembaga swasta/masyarakat yang melayani 17.894 orang.

Sementara itu, dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran GelapNarkotika dan Prekusor Narkotika (P4GN), mengamanatkan untuk menyusun standardisasi layanan rehabilitasi berkelanjutan secara nasional.

Untuk itu, dari hasil rapat koordinasi yang dilakukan oleh PMK terkait tindak lanjut Inpres 6/2018, menyepakati untuk menyusun standar tentang layanan rehabilitasi berkelanjutan dalam bentuk SNI.

“Pada saat itu belum ada Komite Teknis yang relevan untuk menyusun SNI terkait rehabilitasi Napza, maka pada awal September 2019, BSN atas usulan Kemenko PMK membentuk Komite Teknis 03-11 Rehabilitasi Pecandu Narkotika, yang keanggotaannya terdiri dari perwakilan 4 stakeholder: pemerintah, konsumen, pelaku usaha, dan pakar, dimana sekretariat Komtek dikelola oleh Kemenko PMK, tepatnya di Asdep Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit,” tambah Hendro.

Pada akhir Oktober 2019, Komite teknis 03-11 telah menyelesaikan penyusunan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) tentang penyelenggara layanan rehabilitasi bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (Napza).

“Standar ini dimaksudkan agar terdapat acuan atau standar bagi penyelenggaraan layanan rehabilitasi bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (Napza),” tegas Hendro.

Ruang lingkup SNI ini, tambah Hendro mengatur dan menetapkan persyaratan umum dan persyaratan khusus penyelenggara layanan rehabilitasi bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan Napza.

Rehabilitasi yang dimaksud meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam bentuk layanan rawat jalan maupun rawat inap.

Saat ini, perumusan RSNI ini telah memasuki tahap jajak pendapat, mulai tanggal 1 November sampai dengan 20 November 2019.

Jajak pendapat dimaksudkan untuk mendapat tanggapan dan masukan dari masyarakat luas, khususnya para pelaku yang langsung terlibat dalam layanan publik, baik tanggapan yang bersifat editorial maupun substansial.

“Kami berharap, masyarakat, lebih khusus yang pernah atau sedang mendapatkan layanan rehabilitasi, dapat turut berperan aktif dan terlibat dalam penyusunan standar di tahap uji publik ini, dengan memberikan komentarnya. Hal ini pada dasarnya sangat dibutuhkan agar pada saat ditetapkan, substansi SNI dapat berkualitas,” pungkas Hendro.

Standar ini merupakan standar hasil pengembangan sendiri, yang harapannya ke depan berbagai pihak bisa mendapatkan manfaat dari tersedianya SNI ini.

Bentuknya, penyelenggara layanan dapat meningkatkan layanannya, disertai dengan pengakuan dalam bentuk sertifikasi SNI. Dan pemerintah dapat melakukan pembinaan yang terukur, melalui rencana aksi pembinaan penyelenggara layanan rehabilitasi, menuju layanan yang paripurna.

Sedangkan masyarakat, sebagai pengguna layanan rehabilitasi dengan standardisasi tersebut nantinya akan mendapat kejelasan dan jaminan standar layanan rehabilitasi yang akan diterima.(tok/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs