Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur kumpulkan pejabat eselon 2 sampai 4 dari seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam sebuah rapat, Jumat (12/7/2019).
Rapat ini digelar pascapenggeledahan kantor dan rumah sejumlah pejabat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (11/7/2019) kemarin.
“Kami sampaikan kembali kepada OPD-OPD, kalau ada bantuan keuangan, ada hibah, verifikasi kembali. Sampaikan kepada seluruh tim, ini kan ada eselon 2, eselon 3, eselon 4. Masing-masing supaya mengecek bahwa penerimanya valid,” katanya.
Dia mengingatkan bahwa pengecekan itu perlu dilakukan untuk mengetahui bahwa penerima bantuan dan hiba itu memang membutuhkan. Seterusnya, pengecekan itu, harus dilakukan agar benar-benar sesuai dengan aturan yang ada.
“SOP-SOP (Standar Operasional Prosedur), lalu ada regulasi yang harus dipatuhi, ya, harus dipatuhi. Kami ingatkan kembali tentang ini kepada mereka melalui rapat ini,” ujarnya kepada wartawan.
Sejak Rabu (10/7/2019), petugas KPK menggeledah lima lokasi di Jawa Timur sebagai rangkaian penyidikan kasus suap dalam pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan APBD dan APBD Perubahan Tulungagung 2015-2018.
Febri Diansyah Juru Bicara KPK mengatakan, penyidikan itu dilakukan untuk menguatkan bukti-bukti atas kasus yang menjadikan Supriyono Ketua DPRD Kabupaten Tulungagung sebagai tersangka.
Penggeledahan di lima lokasi itu merupakan upaya untuk menelusuri sumber dana APBD Tulungagung yang berasal dari Bantuan Keuangan APBD Provinsi Jawa Timur pada tahun anggaran yang sama.
Petugas KPK menggeledah kantor Bappeda Jatim pada Rabu. Dari lokasi itu, petugas KPK menyita sejumlah dokumen penganggaran.
Lalu pada Kamis, KPK menggeledah empat rumah pribadi sejumlah pejabat aktif maupun pensiun di Bappeda Jatim. Dari empat lokasi itu tim KPK menyita dokumen penganggaran dan sejumlah telepon genggam.
Pada 13 Mei lalu, KPK mengumumkan penetapan Supriyono sebagai tersangka kasus suap itu. Supriyono diduga menerima Rp4,88 miliar untuk pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan APBD dan APBD Perubahan.
Uang itu diduga berasal dari Syahri Mulyo Bupati Tulungagung periode 2013-2018 sebagai syarat pengesahan APBD dan APBD Perubahan.
Pada perkara sebelumnya, Syahri Mulyo terbukti menerima suap dari sejumlah pengusaha Tulungagung.
Penyidikan KPK itu adalah tindak lanjut dari fakta baru yang terungkap dalam sidang Terdakwa Syahri Mulyo. Ada uang yang diberikan Syahri kepada Ketua DPRD untuk biaya unduh anggaran bantuan provinsi.
Uang yang dikumpulkan Syahri dari hasil uang “fee” sejumlah kontraktor di Tulungagung itu diberikan kepada Supriyono sebagai mahar untuk mendapat anggaran, baik Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun bantuan dari Provinsi Jawa Timur.
Dalam persidangan Syahri Mulyo terungkap bahwa Supriyono menerima Rp3,75 miliar dengan rincian penerimaan “fee” proyek APBD Murni dan APBD Perubahan selama empat tahun berturut-turut.
Supriyono menerima uang Rp500 juta setiap tahunnya selama kurun waktu 2014-2017 atau total sekitar Rp2 miliar.
Selanjutnya, ada penerimaan sebesar Rp750 juta yang diduga untuk memperlancar proses pembahasan APBD, mempermudah pencairan DAK, dan bantuan keuangan provinsi pada kurun waktu yang sama.
Tidak hanya itu, Supriyono juga menerima “fee” proyek di Kabupaten Tulungagung selama 2017 dengan total mencapai Rp1 miliar.
KPK terus mendalami dugaan penerimaan lain yang berhubungan jabatan tersangka Supriyono sebagai Ketua DPRD Kabupaten Tulungagung.(den/iss/ipg)