Jumat, 22 November 2024

Ketika Cahaya Jadi Polusi di Langit Jakarta

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan
Sepertiga umat manusia tidak bisa melihat Bima Sakti akibat polusi cahaya. Foto: Info Astronomi

“Bintang kecil di langit yang tinggi, amat banyak menghias angkasa….”

Penggalan lirik dari lagu berjudul “Bintang Kecil” ciptaan Meinar Louis tersebut sepertinya tidak akan lagi dirasakan anak-anak sekarang.

Bintang yang dahulu bisa dilihat dengan mata telanjang, kini diperlukan alat bantu yang berfungsi mengumpulkan radiasi elektromagnetik dan membentuk citra dari benda yang diamati atau sering disebut teleskop.

Salah seorang yang mengeluhkan hilangnya bintang di langit Jakarta adalah Ronny Syamara, salah seorang astronom Planetarium Jakarta.

“Beberapa benda langit tertentu masih bisa diamati, seperti planet, bulan, bintang-bintang terang itu masih, tapi untuk objek-objek yang kategorinya deep sky object, objek-objek yang cukup redup, secara kasat mata sudah susah dilihat,” ujar Ronny terlihat setengah berapi-api.

“Jakarta termasuk cukup parah untuk kualitas cahaya,” lanjut pria yang ditemui Antara di ruang tamu kantor Planetarium Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, itu.

Sumber cahaya artifisial yang berkontribusi dalam polusi cahaya antara lain light trespass atau cahaya tumpahan yang tanpa sengaja masuk untuk menerangi rumah dan clutter atau cahaya buatan di perkotaan.

“Lampu taman maupun lampu trotoar yang tidak mengarah ke atas atau tidak memiliki tudung menjadi salah satu penyebab polusi cahaya,” kata Ronny.

Tidak hanya itu, Ronny menambahkan, baliho dengan penerangan yang mengarah ke atas, juga dapat memperburuk polusi cahaya di Jakarta.

Selain itu, sumber cahaya artifisial yang berkontribusi dalam polusi cahaya adalah glare atau cahaya silau yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada penglihatan, serta sky glow atau atau cahaya yang dipancarkan secara langsung ke atmosfer yang membentuk seperti kubah menutupi langit di malam hari.

Sky glow ini yang menyebabkan penduduk di perkotaan tidak dapat melihat bintang-bintang di langit saat malam hari.

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin membenarkan bahwa kota Jakarta, terutama Jakarta Pusat yang menjadi lokasi Planetarium, berlimpah cahaya.

“Hanya sekadar planet terang yang bisa terlihat, bintang-bintang hanya sebagian,” kata Thomas.

Dampak polusi cahaya

Penelitian lain, menurut Thomas, pola tidur akan berubah. Bagi sebagian orang yang sangat peka terhadap kondisi cahaya polisi cahaya dapat membuat mereka mengalami gangguan tidur.

Praktisi kesehatan tidur dr Andreas Prasadja RPSGT membenarkan bahwa gangguan tidur berkaitan dengan cahaya. Banyak dewasa dan anak muda yang mengalami delayed sleep disorder.

“Bukan tidak bisa tidur, hanya jam tidurnya bergeser. Apa penyebabnya? Banyak hal, salah satunya cahaya,” ujar Andreas.

Menurut Andreas, cahaya berperan penting dalam terhadap pusat pengatur ritme biologis tubuh, termasuk bangun dan tidur, circadian rhythms suprachiasmatic nucleus yang peka terhadap cahaya.

“Begitu tidur terganggu, dari ujung rambut sampai ke kaki terganggu,” kata dokter spesialis tidur atau yang lebih dikenal sebagai seorang sleep physician itu.

Andreas menyebut gangguan sistem jantung hingga pembuluh darah menjadi akibat dari gangguan pola tidur. Tidak hanya itu, gangguan pola tidur juga membuat daya tahan tubuh menurun.

“Ini menjadi natural killer, karena daya tahan tubuh manusia hanya tinggi saat tidur,” kata dia

Tidak hanya itu, pada kasus yang lebih kompleks, gangguan pola tidur dapat membuat seseorang mengalami gangguan metabolisme yang berakibat diabetes dan obesitas.

Lebih dari itu, Andreas menyebut gangguan pola tidur dapat meningkatkan risiko kanker payudara pada perempuan.

“Perempuan yang tidur kurang dari tujuh jam sehari risiko kanker meningkat 36 persen,” ujar dia.

Di luar dampak pada manusia, ahli ekologi Franz Holker dari Germany`s Leibniz-Institute for Freshwater Ecology and Inland Fisheries (IGB) mengatakan polusi cahaya memiliki konsekuensi ekologis.

“Selain mengancam 30 persen vertebrata yang nokturnal dan lebih dari 60 persen invertebrata yang nokturnal, cahaya artifisial juga mempengaruhi tumbuhan dan mikroorganisme,” kata Holker.

“Ini mengancam keragaman hayati melalui perubahan kebiasaan pada malam hari, seperti pola reproduksi dan migrasi, dari banyak spesies berbeda: serangga, amfibi, ikan, burung, kelelawar, dan binatang lainnya,” tambah dia.

Cegah polusi cahaya

Untuk membangun kesadaran publik terkait polusi cahaya, saat ini Planetarium Jakarta telah memiliki program edukasi ke sekolah-sekolah dasar.

“Kita akan cerita kenapa sekarang susah melihat bintang di langit,” ujar Ronny sedikit menjelaskan mengenai kegiatan tersebut.

“Tahun ini kita mulai di bulan April. Setiap tahun bisa 40 sekolah, target yang kita sasar SD dulu untuk pemahaman sejak dini,” lanjut dia.

Langkah Planetarium Jakarta tersebut sesuai dengan undang-undang (UU) tentang Keantariksaan Bab XIV pasal 90 ayat 4 yang menyebutkan bahwa peran serta masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga ketertiban serta keselamatan dan keamanan kegiatan keantariksaan.

Namun, UU tersebut tampaknya masih belum didukung oleh pemerintah daerah. Sebab, belum ada peraturan daerah atau peraturan gubernur yang mengatur soal keantariksaan, utamanya polusi cahaya.

Sementara, untuk memeringati UU tentang Keantariksaan yang ditetapkan pada 6 Agustus 2013, LAPAN telah mengkampanyekan gerakan Malam Langit Gelap.

“Bukan berarti tidak boleh ada lampu, tapi Malam Langit Gelap meminimalisasi cahaya yang terhambur ke atas,” ujar Thomas.

Kegiatan ini, menurut dia, dilakukan untuk membangun kesadaran publik terhadap adanya polusi cahaya, sekaligus merangkul instansi terkait.

“Kampanye ini sifatnya umum. Memang selama ini masih komunitas astronomi yang antusias, tapi kami ingin membangun kesadaran publik dulu. Ketika sudah mulai meningkat, mendekati ke instansi pemerintah lebih mudah,” pungkas Thomas.(ant/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs