Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya mengusut tuntas kasus dugaan korupsi terkait proses penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam prosesnya, Kamis (11/7/2019) ini, Penyidik KPK mengagendakan pemeriksaan dua orang sebagai saksi untuk tersangka atas nama Sjamsul Nursalim pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) debitur BLBI.
Dua orang yang dipanggil ke Kantor KPK adalah Kwik Kian Gie mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) periode 1999-2000 sekaligus Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Kemudian, KPK juga memanggil Rizal Ramli ekonom yang menjabat Menko Ekuin dan Ketua KKSK periode 2000-2001.
Febri Diansyah Juru Bicara KPK mengatakan, penyidik akan mengonfirmasi pengetahuan dan peran dari para saksi dalam proses penerbitan SKL BLBI, sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Sekadar informasi, Senin (10/6/2019), KPK mengumumkan status Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi penerbitan SKL BLBI untuk BDNI.
Pasangan suami istri itu diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Tumenggung mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Kasus ini berawal dari BDNI yang mendapatkan dana BLBI sebanyak Rp5,4 triliun, pada tahun 1997. Lalu, Rp4,8 triliun digunakan untuk membantu para petani tambak udang dalam bentuk pinjaman/kredit.
Dalam prosesnya, Jaksa KPK menyebut pembayaran kredit para petambak udang itu macet, dan kewajiban membayar utang pinjaman tidak sampai lunas.
Tapi, Syafruddin menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang menyatakan Sjamsul Nursalim, sudah melunasi utangnya kepada negara.
Padahal, BDNI baru membayar Rp1,1 triliun dari total utang Rp4,8 triliun. Sehingga, ada selisih Rp3,7 triliun yang belum dikembalikan.
Selain memperkaya diri sendiri dan orang lain, Syafruddin juga dinilai merugikan keuangan negara sebanyak Rp4,5 triliun berdasarkan hasil audit BPK tahun 2017.
Sebelumnya, Syafruddin Arsyad Temenggung divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dan mendapat hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp700 juta subsider tiga bulan kurungan.
Lalu, di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Syafruddin menjadi 15 tahun penjara serta denda Rp1 miliar.
Tapi, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan terdakwa, dan membebaskan dari segala hukuman yang diputuskan pengadilan tingkat pertama dan kedua.(rid/dwi)