Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hari ini, Rabu (21/8/2019), mengundang Nila Djuwita Moeloek Menteri Kesehatan, dan Pimpinan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP).
KPK mengundang dua pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah tersebut, untuk membahas peningkatan kualitas dan perbaikan di sektor kesehatan.
Pertemuan yang dihadiri Agus Rahardjo Ketua KPK, Pahala Nainggolan Deputi Pencegahan KPK, dan Wawan Wardiana Direktur Litbang KPK, merupakan tindak lanjut dari Kajian Perbaikan Tata Kelola di Sektor Kesehatan yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, dari tahun 2015-2018.
Beberapa hal yang dibahas bersama KPK, LKPP dan Menteri Kesehatan pada pertemuan hari ini, antara lain mengenai percepatan perbaikan sistem katalog elektronik (e-katalog) terutama untuk alat kesehatan, dan urgensi penyelesaian Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Panduan Praktik Klinis (PPK) untuk penyakit berbiaya dan berisiko tinggi.
“Kami masih perlu memperbaiki sistem e-katalog. Sebelumnya, sistem itu dipegang LKPP, sekarang dilimpahkan kepada Kemenkes. Tadi KPK menanyakan sudah sejauh mana upaya yang dilakukan untuk perbaikan,” ujar Nila usai pertemuan, Rabu (21/8/2019), di Kantor KPK, Jakarta Selatan.
Kemudian, dibahas juga tentang Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) penanganan kecurangan (fraud) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan perbaikan tata kelola rumah sakit, terutama perbaikan manajemen Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Sebelumnya, KPK menyoroti empat permasalahan terkait tata kelola di sektor kesehatan, khususnya e-katalog alat kesehatan (alkes), berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK.
Pertama, dari mulai diberlakukannya e-katalog tahun 2013, sampai sekarang baru 35 persen produk alkes dengan nomor izin edar yang tayang di katalog. Sedangkan 65 persen masih dilelang secara manual.
Kemudian, baru sekitar tujuh persen penyedia yang masuk di katalog. Sisanya masih bergerilya ke daerah-daerah ikut proses pengadaan.
Kedua, masih terjadi pemborosan alkes di daerah, antara lain karena tidak tepat spesifikasi, jumlah tidak lengkap, dan tidak ada operatornya.
Ketiga, KPK mengidentifikasi pengawasan Kemenkes terhadap alkes baik sebelum edar maupun yang sudah edar belum maksimal, karena kekurangan sumber daya manusia.
Berdasarkan analisis Litbang KPK, baru sekitar 25 sampai 28 persen produk yang terkalibrasi.
Maka dari itu, KPK menyarankan perbaikan di tingkat kementerian dan balai, untuk lebih mengefektifkan pengawasan alkes.
Keempat, KPK meminta Kemenkes membenahi sejumlah regulasi terutama soal Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Panduan Praktik Klinis (PPK).
Regulasi itu penting sebagai acuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), serta pedoman standar penanganan kecurangan di sektor kesehatan. (rid/ipg)