Beberapa waktu yang lalu, Indonesia memperoleh kabar buruk dari dunia pendidikan, setelah The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) meluncurkan hasil survei dari Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018.
Hasil tersebut menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-70 dari 78 negara. Studi ini didapat dengan membandingkan kemampuan matematika, membaca, dan kinerja sains dari tiap anak di negara-negara yang disurvei.
Hasil PISA 2019 ini menunjukkan terjadi penurunan dibanding tahun 2015 lalu, dimana Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 72 negara yang disurvei. Meski sebenarnya, kedua hasil tersebut tetap tidak menempatkan Indonesia menjadi negara dengan tingkat literasi rendah.
Menanggapi hal itu, Hudiono Plt Kepala Dinas Pendidikan Jatim mengatakan, permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini adalah pemerataan mutu, bukan lagi pemerataan sekolah. Karena di setiap sekolah dan daerah, memiliki mutu pengajaran yang berbeda-beda.
“Bukan pemerataan kesempatan belajar, pendidikan usia sekolah sudah dijamin sekolah. Problemnya sekarang pemerataan mutu antar sekolah. Ini memang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) Pemprov dan mas menteri (Nadiem Makarim, red),” kata Hudiono kepada suarasurabaya.net.
Menurutnya, tidak meratanya mutu pendidikan dikarenakan setiap sekolah memiliki mutu guru, kurikulum, dan interaksi siswa yang berbeda. “Di sekolah ini memang di daerah-daerah terpencil, kita kategorikan ada siswa yang serius belajar, setengah serius, dan tidak serius. Begitu juga guru, ada yang profesional, setengah profesional, dan tidak profesional,” ujarnya.
Oleh karena itu, Dinas Pendidikan Jatim melakukan percepatan pemerataan mutu, dengan memaksimalkan program sekolah penampu dan pengimbas. Program ini menunjuk sekolah rujukan atau unggulan, yang nantinya menampu beberapa sekolah lain dengan mutu sekolah yang lebih rendah.
“Di Jatim ada langkah percepatan yang membuat sekolah-sekolah rujukan atau unggulan, misal ada 286 sekolah negeri dan 254 sekolah swasta (unggulan), maka yang 540 sekolah itu mengampu 1.200 sekolah lain biar ada percepatan, sekolah pengampu dan pengimbas berkolaborasi untuk meningkatkan mutu,” jelas Hudiono.
Ia mencontohkan, guru profesional yang ada di sekolah pengampu yang sudah memahami betul tentang kurikulum, harus diimbaskan atau bertanggung jawab atas mutu sekolah yang diampu. Sehingga beberapa standar pemerataan seperti kurikulum dan proses pengajaran, dapat dipenuhi dengan cepat.
Selain itu, guru yang ada di sekolah pengampu juga berperan sebagai pengawas guru di sekolah pengimbas. Tujuannya, guru di sekolah pengimbas yang sudah yang menjalani pelatihan atau upgrading, dapat mempraktikkan dengan benar di sekolahnya masing-masing.
“Bukan (guru) tidak bisa (mengimplementasikan materi pelatihan), tetapi mereka perlu pendampingan intensif. Ada beberapa guru modelnya harus didampingi, guru-guru diajarkan kolaborasi dan critical thinking,” tambahnya.(tin)