Jumat, 22 November 2024

Gugatan Aktivis pada UUD 1945 Akan Disidangkan

Laporan oleh Zumrotul Abidin
Bagikan
Zulkifli S Ekomei (kanan) di Surabaya, Senin (14/10/2019) sore, saat memberikan keterangan pers di Astranawa Surabaya. Foto: Abidin suarasurabaya.net

Seorang dokter yang juga aktivis, Zulkifli S Ekomei terhadap MPR RI serta 17 pihak lainnya yang menuntut diberlakukannya kembali UUD 1945 yang asli bakal disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).

Menurut pria yang akrab disapa Dokter Zul tersebut, salah satu hal yang sangat penting dan mendesak sehingga mendasari diajukannya gugatan ini, yakni terkait proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024.

“Di pasal 6A ayat 3 itu ada ketentuan Presiden dan Wakil Presiden bisa dilantik apabila di semua Provinsi tidak boleh kalah di bawah 20 persen. Di Aceh dan Sumatera Barat tidak memenuhi syarat itu,” katanya pada wartawan di Surabaya, Senin (14/10/2019) sore.

Sebenarnya, lanjut Dokter Zul, di awal polemik sudah di-counter oleh Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra bahwa ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatakan hal itu berlaku kalau pesertanya lebih dari dua. Tapi, posisi MK tidak berhak mengubah UUD.

“Padahal kita tahu MK tidak berhak mengubah UUD, yang berhak adalah MPR. MK hanya berwenang mengadili masalah UU bertentangan apa tidak dengan UUD,” ujarnya.

Dokter Zul bahkan mengindikasikan banyak kejadian akhir-akhir ini, sebenarnya hanya untuk mengalihkan persoalan besar terkait dengan UUD 1945.

“Karena kalau 20 Oktober ini Presiden dan Wakil Presiden terpilih tetap dilantik, maka jelas di situ menabrak pasal 6A ayat 3 UUD 1945 (hasil amandemen),” paparnya.

Bagaimana kalau tetap dilantik? “Bisa saja, tapi itu artinya melanggar UUD yang mereka anut. Kalau dipaksakan, sudah UUD-nya ‘palsu’ ditabrak lagi,” katanya.

“Makanya kita minta kembali ke MPR dulu, kan sudah terpilih. Sidang dulu MPR, kita cooling down dulu, jangan buru-buru,” sambungnya.

Ditanya soal dasar mengapa dia memilih melakukan gugatan, karena selama ini para purnawirawan jenderal yang menghadap MPR saja tidak dihiraukan, apalagi dirinya.

“Tapi kalau pengadilan yang mengundang penggugat dan tergugat, kan posisinya sama. Itu yang jadi dasar pemikiran saya,” katanya.

Selain itu, Dokter Zul memberanikan diri menggugat, karena selama ini yang berteriak-teriak untuk kembali ke UUD 1945 kerap dibilang makar. “Saya bukan takut dibilang makar, ini sudah lapor,” katanya.

Dokter Zul menambahkan, dampak yang paling dia sesalkan terkait pengesahan UUD 1945 hasil amandemen, yakni proses pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.

“Kita lihat dampaknya, ini menggores persatuan Indonesia kan? Ada istilah cebong dan kampret, dan sampai sekarang enggak bisa disatukan. Siapa yang bisa satukan kalau tidak kembali ke UUD 1945 yang asli,” ujarnya.

Bukankah soal UUD 1945 hasil amandemen ini persoalan lama, sementara sistem ketatanegaraan harus tetap jalan?

“Harusnya itu disadari, makanya saya gugat. Kalau mau teruskan jangan pakai nama UUD 1945, pakai nama lain. Itu sebetulnya inti persoalannya, kenapa mesti pakai nama UUD 1945,” tegasnya.

Sebab, banyak salah kaprah yang terjadi. Dia mencontohkan sistemnya presidensil, tapi setiap pejabat eksekutif harus fit and proper test dengan DPR, artinya enggak jelas.

“Mereka mengatakan negara kesatuan, NKRI harga mati, tapi ada senator. Ini kan untuk negara federal, makanya harus kembali ke UUD 1945 yang asli,” katanya. (bid/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs