Rabu, 27 November 2024

Dulu Bertani, Lalu Pindah ke Sampah Karena Lebih Untung

Laporan oleh Agung Hari Baskoro
Bagikan
Tumpukan sampah dekat permukiman warga Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto. Foto: Baskoro suarasurabaya.net

Warga Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto tidak sejak awal menggantungkan dirinya pada usaha pemilahan sampah plastik impor. Dulu, sebelum tahun 1970-an, mayoritas warga desa ini adalah petani.

Suwarno Kepala Dusun Kalitengah, Desa Bangun mengatakan bahwa hampir semua lahan di desa ini adalah sawah. Namun, sejak berdirinya pabrik kertas PT. Pakerin, pekerjaan bertani mulai ditinggalkan.

Warga desa menemukan “harta karun” baru dari sampah-sampah plastik impor yang dibuang oleh pabrik ini. Bahkan, Suwarno mengaku, dulu perusahaan ini tidak membuang sampahnya di desa ini. Tapi, warga desa sendiri yang meminta untuk dipilah dan dijual lagi.


Pembakaran potongan plastik yang terbelit kawat, untuk mendapatkan kawat yang bisa dijual lagi. Foto: Baskoro suarasurabaya.net

“Sejak dulu mas. Sejak berdirinya PT. Pakerin. Itu sampah kan dibuang keluar. Maksudnya keluar desa Bangun. Lama kelamaan, diminta warga saya. Disuruh buang ke lokasi yang ditempati PT. Pakerin. Itu. Dilihat segi penghasilan, itu memang dulu itu banyak penghasilannya. Akhirnya sawah, sawah-sawah itu. Dulu kan banyak sawah. Ketika dilihat penghasilannya sawah, sama penghasilan sampah, itu jauh. Penghasilan sawah, itu kalau baik, kalau rusak kena penyakit, kan gak ada hasilnya,” ujar Suwarno ketika ditemui di rumahnya, Selasa (19/11/2019).

“Tapi kalau sampah, gak ada. Gak ada rusak, kena penyakit, gak ada. Lah, sawah umpama, tiap tiga bulan sekali, katakanlah penghasilannya Rp1 juta. Tapi disini, di sampah itu kurang lebih satu hari, paling sedikit Rp100 ribu,” lanjutnya.

Jika dirinci, penghasilan menjadi petani dan memulung sampah impor ini memang cukup jauh. Jika petani harus menunggu tiga bulan untuk menikmati usahanya, pemulung bisa langsung mendapatkan Rp100 ribu per harinya. Jika ditotal, selama tiga bulan, mereka sudah bisa mendapatkan uang Rp9 juta.

“Disini rata-rata pemulung sampah. Di sini kira-kira 80 persen lah. 1 desa, 80 persen. Desa Bangun. Kalau gak gitu, ya kerja di PT. Pakerin. Jadi modelnya, kalau masuk malam, paginya kan bisa (mulung, red). Habis salat Dhuhur, istirahat. Nanti jam tiga (sore, red) itu mengumpulkan sampah-sampah itu,” jelasnya.


Proses pemilahan sampah plastik. Foto: Baskoro suarasurabaya.net

Sampah-sampah plastik impor yang ada di Desa Bangun bukan hanya berasal dari PT. Pakerin. Beberapa pabrik kertas lain juga ikut membuang sampahnya di desa ini. Bedanya, jika di PT.Pakerin, warga bisa mendapatkan sampah secara gratis, sampah dari pabrik lain dihargai antara Rp50 ribu – Rp100 ribu per truk.

“Bayarnya gak merata. Kalau baik, dari luar (impor), itu ada atomnya, banyak kaleng, almini (aluminium), itu banyak, itu kurang lebih Rp100 ribu per truk. Kalau gak bagus, Rp50 ribu,” jelasnya.

Siti Maimana, pengepul sampah, yang ada di desa itu juga mengamini pernyataan kepala dusun. Ia mengatakan, saking banyaknya permintaan pada hasil sortir sampah Desa Bangun, sampah plastik dari PT Pakerin saja tidak cukup.

“Ini kan bukan dari (PT) Pakerin aja. Ada yang dari Mekabox, Surya Kertas, Tjiwi, pokoke seluruh pabrik kertas. Awal e ndugi Pakerin niku, dijatah Pakerin, gratis per rumah. Berhubung Pakerin gak memadai, karena semakin banyak permintaan, akhire nyari dari lain-lain,” akunya.

Pengamatan suarasurabaya.net di lokasi, lokasi penimbunan sampah plastik di desa ini sangat banyak. Beberapa lahan bahkan sengaja di sewa warga untuk berbisnis usaha pengepulan sampah. Sisanya, warga bisa dengan bebas memulung di lahan luas yang dimiliki Kepala Desa. Sawah terlihat hanya ada sedikit di desa ini. Padahal, jika dibandingkan dengan desa-desa lain di sekitarnya, sawah masih lebih mudah ditemukan.

Kini, desa itu diterpa isu negatif. Sebuah penelitian global yang digagas IPEN bersama Arnika Association, Nexus3 dan Ecoton menyebut, usaha pemilahan sampah di desa ini mengakibatkan telur ayam disana terkontaminasi PFOS pada konsentrasi yang setara dengan kawasan industri di Eropa.

Berdasarkan hasil penelitian, mereka mengklaim jika orang dewasa yang mengonsumsi satu telur ayam per minggu dari ayam buras yang dilepas dari kawasan ini akan melebihi batas asupan PFOS mingguan yang ditolerir oleh EFSA sebanyak 1,3 kali lipat.

Suwarno mengaku heran dan marah. Ia mengaku di Desa Bangun tak ada peternak ayam. Hanya ada beberapa warga yang memelihara beberapa ekor ayam dan tidak diliarkan.

“Loh datang ke sini. Saya gak mau kalau warga saya diresahkan. Makanya sejak dulu, berapa puluh tahun, gak ada keracunan dari sampah dari telur. Gak ada. Saya sebenarnya itu marah. Ada berita keracunan dari telur dari sampah. Saya sandang pangan Desa Bangun, itu dari sampah. Soalnya itu kan ujungnya di Klagen, Tropodo. Nah itu. Kasihan warga saya Pak, semua penghasilan Desa Bangun itu dari sampah,” tegasnya. (bas/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Rabu, 27 November 2024
34o
Kurs