Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengusulkan agar kebijakan zonasi pendidikan segera diatur ke dalam Peraturan Presiden (Perpres). Peningkatan aturan ini dimaksudkan untuk menghadirkan sinergi pembangunan pendidikan baik pusat maupun di daerah.
“Untuk rotasi guru harus berdasarkan zona. Pembangunan sarana prasarana berdasarkan kebutuhan per zonanya. Nah, selama ini kita belum bisa petakan hal tersebut secara detil. Dengan sistem zonasi ini jadi lebih mudah mengetahui permasalahan dan menyelesaikannya,” disampaikan Chatarina Muliana Girsang, Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Staf Ahli Mendikbud) bidang Regulasi pada Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Senin (1/7/2019).
“Yang kita atur ini lebih kepada sinkronisasi, kolaborasi, sinergi antar kementerian dan lembaga dan juga pemerintah daerah,” tambahnya.
Chatarina mengungkapkan saat ini Kemendikbud telah melakukan pembahasan intens dengan beberapa kementerian terkait. Seperti Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Agama (Kemenag).
“Dengan Perpres ini akan dapat membantu pemerintah daerah untuk menerapkan zonasi,” kata dia.
“Kita harapkan tahun ini Perpres selesai. Saat ini kita matangkan. Kita sudah bahas dengan Kemenkumham, Bappenas, Kemenag,” kata Chatarina.
Menurut Chatarina, penerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan pemantik awal. Untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pemenuhan jumlah sekolah dan pemerataan infrastruktur, serta sarana dan prasarana. Kemudian pemenuhan, penataan, dan pemerataan guru. Dan mendorong integrasi pendidikan formal dengan nonformal, serta gotong royong sumber daya.
“Kewajiban penyediaan akses pada layanan pendidikan sebagai layanan dasar merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah yang diamanatkan pada Undang-Undang Pemerintah Daerah. Bahkan APBD itu harus diprioritaskan penggunaannya untuk pendidikan sebagai layanan wajib,” jelasnya.
Sementara Hetifah Sjaifudian Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjelaskan bahwa DPR mendukung kebijakan zonasi agar mampu memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.
“Prinsipnya setuju, zonasi menghilangkan sekolah favorit. Karena setiap warga negara Indonesia itu wajib menerima pendidikan sebagai layanan dasar. Dan pemerintah wajib membiayainya, tapi dengan kualitas yang juga harus relatif sama,” ujar Hetifah.
Lebih lanjut, anggota legislatif dari daerah pemilihan Kalimantan Timur ini menyoroti perlunya komitmen anggaran pendidikan, khususnya di daerah. Menurut catatan Komisi X DPR RI, baru 18 provinsi yang mengalokasikan anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selama ini, anggaran pendidikan yang berasal dari pusat digunakan untuk memperbaiki tiga masalah utama, di antaranya sarana dan prasarana, pengelolaan sekolah, dan ketersediaan dan peningkatan mutu guru.
Dijelaskan Hetifah, alokasi anggaran pendidikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah memenuhi amanat konstitusi sebesar minimal 20 persen. Namun, perlu diketahui masyarakat bahwa sebagian besar anggaran tersebut ditransfer ke daerah. Sementara Kemendikbud mendapatkan alokasi anggaran pendidikan sekitar 7 persen dari total 20 persen. Dan kecenderungannya semakin berkurang.
“Jika disalurkan dengan tepat dan baik, maka akan menghilangkan soal sekolah favorit dan tidak favorit itu,” ujarnya.
Kebijakan zonasi merupakan kebijakan tata kelola pendidikan yang berkeadilan sosial sesuai amanat Pancasila sila ke-5, dan konstitusi mendorong pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) oleh pemerintah daerah (Pemda).
“Kita akan dapat meningkatkan daya saing Indonesia khususnya kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan,” tutur Chatarina.
Chatarina menjelaskan bahwa dengan sistem zonasi, pemerintah dapat lebih mudah menemukan anak-anak putus sekolah agar terwujud wajib belajar 12 tahun. Dan yang taknkalah penting adalah optimalisasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui sinergi tripusat pendidikan, yakni sekolah/guru, keluarga/orang tua, dan lingkungan/masyarakat.
“Program penguatan pendidikan karakter akan lebih optimal. Karena kita melihat data-data kekerasan, kejahatan seksual, anak terkena narkoba itu angkanya cukup tinggi. Itu mendorong pemahaman kita bahwa salah satu yang wajib memberikan pendidikan karakter itu adalah orang tua,” kata dia
“Jadi, jangan jauhkan anak-anak itu dari pengawasan orang tua karena demi mengejar sekolah yang katanya favorit. Perlu ada cukup waktu anak-anak bertemu dengan orang tuanya,” tambahnya.
Dia mengungkapkan cukup banyak pemerintah daerah yang melakukan penyimpangan terhadap penerapan aturan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) mengenai PPDB.
“Hal ini menyebabkan kebingungan masyarakat mengenai aturan PPDB. Kok tidak sama antara yang disosialisasikan dengan yang ditemui di lapangan,” ujarnya.
Zonasi yang diterapkan Pemda juga tidak memperhitungkan daya tampung sekolah dengan jumlah anak yang lulus dari jenjang sebelumnya, imbuhnya.
Ahmad Su’adi anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), menyampaikan apresiasinya kepada Kemendikbud yang telah menerbitkan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 pada bulan Desember 2018. Sehingga Pemda memiliki waktu enam bulan untuk persiapan dan melakukan sosialisasi ke masyarakat.
“Beberapa Kepala Daerah masih melakukan modifikasi sistem zonasi yang menyimpang dari tujuan utama sistem tersebut,” katanya.
Penerapan kebijakan zonasi sebagai bentuk upaya peningkatan pemerataan akses pendidikan yang berkeadilan hendaknya dapat ditindaklanjuti Pemda dengan pemerataan fasilitas dan akses.
“Yang penting sekarang ini agar masalah terkait disinformasi dan tidak adanya peta zonasi agar segera diselesaikan. Tanpa harus mengubah sistem zonasinya sendiri,” kata Ahmad Su’adi.
Ombudsman berharap agar koordinasi Kemendikbud dan Kemendagri semakin baik. Sehingga penerapan PPDB berbasis zonasi tidak lagi bermasalah.
“Ini kan program pemerintah, bukan hanya Kemendikbud. Maka benar adanya Perpres, sehingga semua bisa terlibat,” tutur Ahmad Su’adi.
Secara umum, Ombudsman memandang penerapan kebijakan sistem zonasi selama tiga tahun terakhir telah menurunkan jumlah praktik jual beli kursi/titipan serta pungutan liar di dunia pendidikan. Khususnya yang selama ini dilakukan di sekolah-sekolah yang dianggap unggulan atau favorit.
Hetifah Sjaifudian memandang Pemda, khususnya para Kepala Daerah sebagai kunci dalam penerapan kebijakan zonasi. Khususnya dalam pembuatan petunjuk teknis dan penetapan zona.
“Jika kita ingin sistem zonasi ini berjalan, diterima, dan berkelanjutan. Maka harus ada langkah-langkah cepat. Pertama, kita harus memastikan bahwa peraturan yang ada dilaksanakan secara tegas. Penegakkan hukumnya juga jelas,” tegas Hetifah.
Apabila terdapat penyimpangan dan penyalahgunaan, maka harus ada penindakan yang tegas dan tidak pandang bulu. Baik itu menyangkut masyarakat, pejabat, dan aparat, tambah Wakil Ketua Komisi X DPR RI ini.
“Kemendagri yang berperan memberikan sanksi kepada daerah, bukan Kemendikbud. Makanya kalau ada Perpres, lebih jelas acuan hukumnya, siapa berbuat apa. Dan sebenarnya bisa dilakukan insentif dan disinsentif,” imbuh Hetifah.
Kemendikbud bersama Kemendagri akan melakukan evaluasi pelaksanaan PPDB di bulan Juli ke daerah yang telah selesai.
“Untuk melihat dan memetakan. Jadi kami ingin melihat kenapa ada penyimpangan? Apa kendalanya? Khususnya di daerah yang mencuat permasalahannya,” kata Chatarina. (faz/dwi)