Angka penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Surabaya terus menurun akibat peran Ibu Pemantau Jentik (Bumantik), Guru Pemantau Jentik (Rumantik), dan Siswa Pemantau Jentik (Wamantik). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Surabaya, saat ini penderita DBD di Surabaya tercatat sebanyak 23 orang.
Hal ini turun dari tahun 2018 sebanyak 42 orang dengan 1 penderita meninggal dunia. Sedangkan, pada tahun 2017, tercatat 2 orang meninggal dunia akibat penyakit ini.
“Ada namanya bumantik, ada rumantik, ada wamantik. Jadi bumantik di kampung, kalau guru dan siswa di sekolah. Siswa itu di sekolah juga di rumah,” kata Tri Rismaharini Walikota Surabaya ketika ditemui usai Apel Gebyar PSN DBD Kota Surabaya di Lapangan Thor, Surabaya pada Jumat (1/2/2019).
Bumantik sendiri adalah sukarelawan di kampung-kampung yang dikader oleh puskesmas. Febria Rachmanita Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Surabaya mengatakan, kader Bumantik ditugaskan untuk melihat jentik di tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi.
Ia mengatakan, Bumantik biasanya akan berkeliling untuk melakukan pengecekan pada hari Jumat atau sabtu. Saat ini jumlah Bumantik di Surabaya sudah mencapai 23 ribu orang yang tersebar di berbagai wilayah kota Surabaya.
“Kendala kader ini, biasanya ditolak, tidak boleh masuk (rumah warga,red), kemudian biasa disentak-sentak, padahal mereka dengan ikhlas menekan angka DBD di Surabaya,” ujar Febria.
Tak hanya di kampung, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) juga perlu dilakukan di sekolah-sekolah. Oleh karenanya, Surabaya juga memiliki Guru Pemantau Jentik (Rumantik) dan Siswa Pemantau Jentik (Wamantik).
Mereka bertugas memastikan genangan-genangan air dan tempat penampungan air di sekolah bebas dari sarang nyamuk. Sedangkan, untuk Wamantik, mereka juga ditugaskan untuk memberantas sarang nyamuk di rumahnya masing-masing.
“Siswa itu di rumah dan sekolah. Biasanya tiap senin, dia membawa jentik yang dikumpulkan. Mereka mencari dan memantau untuk menemukan itu,” pungkas Risma. (bas/tin/dwi)