Bisnis lancung solar bersubsidi yang diungkap Ditreskrimsus Polda Jatim di Bangkalan dan Sumenep juga memasok kebutuhan BBM di BUMD Sumekar dan Unit Kerja Pegaraman 1 di Kabupaten Sumenep.
Bisnis yang sudah berjalan setahun itu diungkap polisi berdasarkan laporan masyarakat yang kemudian didalami pada 19 November 2019. Dari penyelidikan, ditemukan tiga buah tangki duduk warna hitam berisi solar di Desa Kebun Dadap Barat, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep.
Tiga tangki itu ternyata milik PT Pelita Petrolium Indonesia (PPI) Cabang Sumenep dengan Kepala Cabang berinisial M. Polisi menemukan solar-solar itu disimpan PPI tanpa dokumen lengkap.
Hasil penelusuran polisi, BBM itu dibeli oleh PPI dari PT Jagad Energi dengan harga Rp5.700 per liter di luar PPn. PPI kemudian menjualnya kembali ke sejumlah perusahaan di Sumenep.
Dari data yang didapat suarasurabaya.net, setidaknya ada empat perusahaan yang membeli solar ilegal dari PPI di Sumenep dengan harga Rp6.000 per liter non-PPn. Empat perusahaan itu adalah Pegaraman 1 dengan sekali pembelian 5.000 liter; BUMD Sumekar sebanyak 16.000 liter sekali membeli; PT Dharma Dwipa Utama sebanyak 10.000 liter sekali membeli; dan PT Pundi Kencana Makmur sebanyak 5.000 liter sekali membeli.
Dari penyelidikan Sumenep, polisi mengembangkan ke daerah Bangkalan. Di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Desa Karang Panasan Kecamatan Blega, Kabupaten Bangkalan, polisi mendapati sebuah dumptruck modifikasi berkapasitas delapan ton membeli bio solar seharga Rp5.150 per liter, lebih murah Rp125 per liter dari harga resmi. Solar-solar itu ternyata disuplai ke PT Jagad Energi, perusahaan yang menyuplai solar ke PPI.
Kombes Pol Gidion Arif Setyawan Dirreskrimum Polda Jatim mengatakan, dari kasus ini baru ditetapkan 6 orang tersangka yang diantaranya adalah pengawas dan operator SPBU. Terkait industri yang menerima pasokan solar ilegal ini, Gidion masih melakukan pendalaman.
“Kami masih melakukan pendalaman untuk memetakan pendistribusian dari kegiatan ini,” katanya dihubungi suarasurabaya.net, Rabu (11/12/2019) malam.
Menurut Gidion, dalam kontruksi hukum Undang-Undang Perniagaan Migas, yang bersalah adalah orang yang melakukan perniagaan karena dia yang menampung, mengolah, menjual BBM bersubsidi tanpa izin. Sementara yang pembeli atau user juga salah tapi tidak masuk konstruksi hukum Undang-Undang Migas.
“Kita berangkat dari undang-undang perniagaan migas, konstruksinya kan yang salah yang melakukan perniagaan karena dia yang menampung, mengolah, menjual BBM subsidi tanpa izin. Yang beli juga salah tapi tidak masuk konstruksi hukum ini.
Gidion mengatakan, tetap akan menelusuri kasus ini hingga ke rantai distribusinya ke sejumlah industri.
“Kami akan dalami. Karena kadang-kadang gini, tidak wajar. Perusahaan itu kan punya Izin Niaga Umum (INU). Misalnya kuotanya 5 ton BBM, terus dia mengambil dari yang lain bisa 10 ton. Kalau orang bilang Spanyol (separuh nyolong),” katanya. (bid/dwi)