Agustinus Mulyadi Kuwanto atau akrab disapa Pak Agustinus, adalah pendengar setia Radio Suara Surabaya. Namanya populer di kalangan pendengar maupun kru Suara Surabaya Media.
Bukan tanpa alasan, pria kelahiran Porong, 26 April 1954 ini adalah pendengar yang aktif menghubungi Radio Suara Surabaya, lebih dari 27 tahun.
Datang ke kantor Suara Surabaya Media batik warna coklat muda serta topi putih, pria berusia 65 tahun ini datang dan menyapa kawan-kawan di Gatekeeper. Ia akhirnya melihat langsung, bagaimana “dapur” radio yang selama ini ia hubungi.
Gaya bicaranya yang dikenal tegas dan terkesan ketus, rupanya tidak se-ngeri apa yang dibayangkan pendengar. Meski baru beberapa menit mengenal, sosoknya cukup ramah saat diajak mengobrol kru SS yang lain atau pendengar yang rela-rela datang ke kantor SS Media hanya untuk bertemu langsung dan berfoto bersama.
Agustinus pendengar saat berfoto bersama dengan kru Suara Surabaya Media di ruang siaran Radio Suara Surabaya. Foto: Tina suarasurabaya.net
Agustinus datang ke kantor SS Media untuk melakukan siaran langsung dengan Iman Dwihartanto penyiar dalam program Wawasan, Sabtu (21/12/2019) sekitar pukul 08.00 WIB. Siaran itu sekaligus ditayangkan secara live di kanal facebook E100.
Tak tanggung-tanggung, sosial media Suara Surabaya jebol hanya dalam waktu beberapa menit. Ribuan netter bergabung, ratusan orang menyematkan komentar, dan Whatsapp SS penuh dengan ratusan respon para pendengar setelah mengetahui Agustinus on air langsung di ruang siaran.
Iman Dwihartanto yang termasuk penyiar senior di Radio Suara Surabaya mengenang, bagaimana dulu Agustinus berpartisipasi dalam sebuah kejadian yang disiarkan lewat radio.
“Pas banjir Pacet tahun 1996 atau 1997 ya, Pak Agus ini satu di antara pendengar yang turun ke lapangan, aktif, sekaligus bantu-bantu kita. Partisipasi Pak Agus di SS ini sepanjang aku disini sudah ada,” kata Iman sembari mengenang momentum lama di Radio Suara Surabaya.
Iman mengakui, bahwa gaya bicara Agustinus memang terkadang tidak dapat diterima banyak orang. Beberapa pendengar pasti merasa tersentak dan saat karena gaya penyampaiannya yang ceplas-ceplos. Namun menurutnya, gaya itulah yang menjadi ciri khas dari seorang Agustinus.
“Kalau dari sisi komunikasi, memang berbeda dari yang lain. Cara penyampaiannya beda dengan kita. Style-nya dibikin lembut, kalem, enggak bisa, ya.. gitu itu,” tambahnya.
Namun, lanjut Iman, beberapa masukan dari Agustinus terkadang penting untuk dipahami lebih banyak orang. Apalagi, ia sering menghubungi SS untuk berbicara tentang otomotif dan keselamatan berkendara.
“Kalau kita mau mendalami dan meresapi apa yang disampaikan Pak Agustinus ini, misalnya seorang supir yang tidak hanya bisa nyupir, tapi harus paham kendaraan, etika, peraturan. Itu sangat basic, tapi ya itulah pentingnya mengemudi. Harus tahu situasi dan menjaga perasaan orang lain,” imbuhnya.
Meski selalu berkomentar tentang otomotif, namun siapa sangka sosok yang sudah 53 tahun bertempat tinggal di Jalan Citandui, Surabaya ini, memiliki penangkaran burung walet di Blora. Selain itu, ia juga memiliki bisnis di bidang pertanian atau agrobisnis di Batu.
“Saya ada penangkaran sarang burung di Blora, burung walet biasa,” ujarnya singkat.
Namun saat ditanyai tentang jenjang pendidikan, yang membuat ia mengetahui seluk beluk tentang otomotif, Agustinus enggan menjawab. Menurutnya, sekolah tidak lagi penting jika perilaku seseorang tidak jauh berbeda dengan pencuri.
“Tidak pernah sekolah saya, penting bisa cari makan, selesai. Percuma sekolah tinggi tapi kebiasannya mencuri. Dikasih gaji tinggi, tunjangan, tapi masih mencuri,” ujarnya dalam bahasa Jawa.
Ia mengaku, pengetahuannya soal otomotif murni diperoleh secara otodidak. Bahkan dalam live yang ditayangkan di e100, ia mengatakan bahwa dirinya seorang praktisi. “Saya itu tahu banyak secara otodidak. Sejak SD sudah ngerti ring piston. SMP sudah mulai pasang ring piston,” tambahnya.
Kemampuannya belajar otomotif juga didasari oleh prinsip hidupnya, bahwa seseorang harus dapat menopang dirinya sendiri secara mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Begitu juga tentang kemandirian soal kendaraan yang dimiliki.
Saat ia memiliki kendaraan, ia sadar bahwa ia harus secara mandiri mengetahui apa yang harus ia lakukan terhadap kendaraan tersebut.
“Orang itu harus koreksi dirinya sendiri, jangan ‘njagakne ndok pitik blorok’ (menggantungkan ayam Blorok bertelur -perumpaan), jangan terlalu bergantung sama orang. Harus bisa mandiri. Contoh kalau semua auto dealer bisa menyediakan teknisi, kalau lewat kawasan Cangar itu gimana? sinyal tidak ada, kalau ada apa-apa bagaimana,” tegasnya.
Agustinus pun mengakui, bahwa gaya ceplas-ceplos adalah gayanya yang sulit dihilangkan. Namun ia berpegangan teguh, bahwa hidup itu harus jujur, serta tidak boleh menyusahkan dan merugikan orang lain.
Menurutnya, setiap orang memiliki agama dan Tuhan, di mana mereka harus mempertanggung jawabkan apa yang diucapkan dan dilakukan.
“Saya tidak bisa disuruh berbakat berbohong, soalnya saya ini beragama, Anda juga beragama, meski Tuhan itu tidak kelihatan. Itu pejabat disumpah ditaruh kitab di atas kepala, tidak takut dia. Saya itu takut sama diri saya sendiri, karena Tuhan ada di dalam diri saya,” ujarnya.(tin/iss)