Keberadaan Ludruk sebagai satu di antara kesenian khas Surabaya, seiring perkembangan zaman terus terpinggirkan. Pentas-pentas Ludruk sudah tidak lagi mudah ditemui. Di Kota Surabaya hanya tinggal Gedung Ludruk THR Surabaya.
Ludruk semakin terpinggirkan di kotanya sendiri. Ludruk menjadi seni yang langka ditengah-tengah kota yang menjadi simbol bahwa Ludruk telah juga melahirkan seniman-seniman tradisional semacam Cak Kancil, Cak Markeso, dan Cak Kartolo.
“Jangan pernah menyalahkan siapa-siapa. Justru kita sebagai wong suroboyo sejatinya punya tanggung jawab bersama untuk tetap menghadirkan Ludruk sebagai tontonan maupun sebagai bagian dari ciri khas Kota Surabaya ini,” terang Meimura, aktor teater.
Meimura yang juga seniman pemerhati Ludruk, menambahkan perkembangan masyarakat saat ini, diakui atau tidak memang berpengaruh pada keberadaan kesenian Ludruk.
Penampilan sebuah monolog tentang Ludruk sempat dimainkan Meimura. Foto: Totok/Dok. suarasurabaya.net
Di masa lalu, masyarakat memilih Ludruk sebagai satu di antara hiburan di tengah hiruk pikuk pekerjaan sehari-hari. Dampaknya adalah munculnya beberapa gedung atau lokasi penampilan pentas kesenian Ludruk.
“Tapi kemudian tempat-tempat itu mati dengan sendiri seiring dengan semakin menurun dan sepinya pengunjung atau penontonnya. Tobong Ludruk di Wonokromo akhirnya tutup, karena setiap malam pertunjukan tak lebih 5 orang saja penontonnya,” kata Meimura.
Belum lagi gerusan dan infiltrasi siaran televisi dan maraknya layar bioskop menjadikan Ludruk makin terpuruk dan terus terpinggirkan dari massanya sendiri. Dan akhirnya Ludruk magak. Ludruk hidup segan mati tak mau.
Memperkenalkan kepada generasi muda atau generasi milenial menjadi sesuatu yang perlu dilakukan sebagai upaya tetap menjaga marwah Ludruk agar masih tetap ada di Kota Surabaya seperti pada masa emasnya dulu.
“Bila perlu memang menggelar pentas dari satu kampung ke kampung lainnya. Kalau masyarakat tidak mau datang ke gedung pertunjukan, seniman Ludruk ganti yang mendatangi masyarakat melalui pentas di kampung-kampung itu. Ini perlu dilakukan, agar Ludruk tidak hilang atau sirna dari kotanya sendiri,” tegas Memura.
Bersama kelompok Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara, Meimura yang juga sutradara teater menggelar berbagai lakon dengan sesekali melibatkan pemain-pemain dari tingkat sekolah dasar hingga mahasiswa.
“Semoga di tahun 2019 semakin banyak pementasan Ludruk di Surabaya. Semoga masyarakat dan pemerintah ikut serta terlibat dan menjaga keberadaan dan kelestarian Ludruk. Jangan sampai sirna, karena ini adalah kekayaan tradisi dan budaya kita,” pungkas Meimura, Sabtu (5/1/2019).(tok/iss)