Jumat, 22 November 2024

2019, Ludruk Jangan Sampai Hilang

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Pentas monolog dimainkan Meimura menutup tahun 2018, berkisah tentang kegelisahan sosok penari Remo sekaligus pemain Ludruk. Foto: Totok/Dok. suarasurabaya.net

Meskipun teknologi terus berkembang, seiring peradaban manusia yang terus maju, hal itu tidak menjadi alasan berbagai kesenian tradisional harus terpinggirkan. Pada 2019 ini, kesenian Ludruk diharapkan tetap hadir dan tidak hilang dari Kota Surabaya.

Meimura aktor yang juga sutradara teater menyampaikan itu kepada suarasurabaya.net, Kamis (3/1/2019). Dia menyampaikan ini berkaitan dengan eksistensi Ludruk di kotanya sendiri.

“Jangan sampai Ludruk yang jadi cikal bakalnya seni tradisional di Surabaya, kemudian seiring perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban Ludruk menjadi hilang. Ludruk menjadi tidak dikenali lagi,” terang Meimura.

Pementasan Ludruk meskipun tidak selengkap pertunjukan yang digelar di desa-desa, di masa lalu, paling tidak tetap memiliki pakem-pakem yang terus dipertahankan dalam setiap pertunjukannya. Pakem-pakem ini yang kemudian, menurutnya, menjadi bagian penting pertunjukan seni Ludruk.

Penampilan monolog penutup tahun 2018 yang dipentaskan Meimura, menyoal sosok pemain Ludruk yang juga penari Remo. Foto: Totok/Dok. suarasurabaya.net

“Tari Remo misalnya. Pelajar dan siswa sekolah dasar harus dikenalkan, bahwa tari Remo, notabene, adalah tari pembuka pementasan Ludruk. Tari ini harus terus digalakkan sejak awal pendidikan dasar. Pemerintah kota bisa menggelar festival-festival atau lomba Tari Remo ini,” kata Meimura.

Meimura menegaskan, masyarakat jangan hanya bisa marah dan melakukan tindakan-tindakan untuk mempertahankan ketika kesenian Ludruk diakui atau diklaim oleh negara lain sebagai milik mereka.

“Jangan sampai seperti itu. Tari Remo jangan sampai diambil negara lain, baru kemudian ada gerakan cinta Tari Remo. Demikian juga ludruk, jangan sampai seperti itu, ini keliru,” kata Meimura yang juga pemain Ludruk.

Beberapa langkah konkrit dalam kaitannya dengan pementasan Ludruk dan upaya menjaga kelestarian Ludruk memang sudah dilakukan Meimura bersama kelompok Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara.

Mulai dari pementasan reguler hingga sosialisasi Ludruk dengan mengundang pelajar, mahasiswa, dan generasi muda, untuk menyaksikan pementasan Ludruk di berbagai tempat di Kota Surabaya.

“Itu saja memang tidak cukup. Harus ada keterlibatan pemerintah, masyarakat luas, sebagai stakeholder kesenian Ludruk. Harapannya, tahun ini pementasan Ludruk lebih banyak. Tentu kita semua berharap kesenian khas Suroboyo dan Jawa Timur ini tidak begitu saja hilang,” kata Meimura yang juga kerap menulis naskah lakon Ludruk.

Menutup tahun 2018 lalu, Meimura menampilkan monolog yang bercerita kedukaan seorang penari Remo sekaligus pemain Ludruk terkait kenyataan semakin tidak ditemuinya pentas-pentas Ludruk di kota yang melahirkan seniman-seniman Ludruk ternama ini.(tok/den)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs