Sebanyak 15 kabupaten di Jawa Timur sudah menyatakan status siaga darurat kekeringan, hingga Jumat (25/7/2019).
Beberapa daerah itu: Magetan, Tulungagung, Bojonegoro, Lamongan, Tuban, Mojokerto, Nganjuk, Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Bondowoso.
Selain itu, empat kabupaten di Madura baik Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan, semua sudah menyatakan siaga darurat kekeringan.
“Pemerintah setempat menyatakan siaga dan tanggap darurat kekeringan,” kata Suban Wahyudiono Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim.
Sebelumnya, pada 10 Juli lalu, Gubernur Jawa Timur sudah mengeluarkan surat edaran kepada bupati dan wali kota di Jawa Timur agar bersiaga.
“Memang berdasarkan analisis BMKG, kemarau 2019 ini mulai awal Juni dan diperkirakan puncak kemarau sampai Agustus mendatang,” ujarnya.
Hasil pemetaan termutakhir di lapangan, BPBD mencatat, kemarau kali ini mengakibatkan 28 kabupaten dari 38 kabupaten/kota di Jatim kekeringan.
Dari jumlah itu, sebanyak 24 kabupaten di antaranya mengalami kering kritis (suplai air kurang dari 10 liter per orang per hari), sedangkan empat lainnya kering langka.
“Jadi untuk yang berpotensi kering kritis, yang jarak airnya lebih dari tiga kilometer, ada 566 desa di 180 kecamatan,” katanya.
Kabupaten Sampang menjadi daerah dengan desa terbanyak mengalami kering kritis. Ada 67 desa. Selanjutnya Kabupaten Tuban sebanyak 55 desa.
Kabupaten lainnya dengan jumlah desa cukup banyak mengalami kering kritis seperti Kabupaten Pacitan, Ngawi, dan Lamongan.
“Saya kemarin ke Karang Penang, Sampang, di desa Bulmatet. Itu ada 3.044 KK, 30 ribu jiwa, tinggalnya di dataran tinggi. Jarak sumber air terdekat 6 sampai 7 kilometer,” ujarnya.
Dia juga mencontohkan warga di desa Bira Kecamatan Sokobanah, Sampang. Warga harus mengambil air ke dekat pantai padahal lokasi desanya cukup jauh.
Namun, kata Suban, pemerintah Kabupaten Sampang baru mengajukan permintaan pengiriman (dropping) air bersih pada 22 Juli kemarin.
“Ternyata di beberapa daerah yang kering di sana, masih beberapa kali hujan. Masyarakat menyimpan air tadah hujan, makanya baru minta dropping air,” ujarnya.
Penanganan kekeringan maupun bencana lain di Jawa Timur, kata Suban, memang tidak hanya menjadi tanggung jawab BPBD semata. Butuh peran berbagai pihak.
“Di beberapa daerah, sejumlah perusahaan memberikan CSR-nya untuk pengadaan air bersih. Memang sudah seharusnya seperti ini,” ujarnya.(den/dwi/rst)