Ojek online (ojol), khususnya kendaraan roda dua belum memiliki payung hukum yang kuat untuk menjadi transportasi umum. Seperti yang ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ojek motor bukanlah angkutan umum.
“Undang-undang sudah jelas kok, menyatakan bahwa motor bukan transportasi umum, tapi faktanya keberadaanya menjadi kebutuhan masyarakat,. Sekarang ini ada Permenhub dan PP (Peraturan Pemerintah, red) dan ada PP-nya itu aja yang dikuatkan tidak perlu berubah UU,” kata AKBP Muhammad Aldian Wadirlantas Polda Jatim kepada Radio Suara Surabaya, Selasa (13/11/2018).
Dia menyatakan, tidak dapat dipungkiri, bahwa ojek motor saat ini menjadi salah satu urat nadi, angkutan alternatif yang digunakan masyarakat.
Sementara itu soal wacana dari masyarakat tentang perlunya sertifikasi bagi pengemudi ojol, menurut AKBP Aldian, itu tidak diperlukan.
“Kalau menambah lagi harus sertifikasi khusus ini kan kendaraan yang seliweran di jalan dengan cc biasa, jadi tidak perlu lagi sertifikat khusus,” jelasnya.
Selain itu akan ada tambahan anggaran lebih yang harus dikeluarkan, dan hal-hal lain yang ditakutkan menambah beban pengemudi.
“Kalau angkutan umum, kan ada SIM umum, kita tidak ada SIM C umum, adanya SIM C biasa,” tegasnya.
Menurut AKBP Aldian, kedisiplinan pengendara ojek online bukan terletak pada sertifikasi, namun karena kebiasaan pengendara itu sendiri.
Belajar dari hasil Operasi Zebra Semeru, mayoritas pelanggar menyadari kesalahannya. Bukan karena berdasarkan ketidaktahuan, tapi karena kebiasaan.
“SIM kan bukti uji kompetensi masyarakat sudah cakap menggunakan kendaraan, masalah dia melakukan pelanggaran bukan masalah SIM-nya, tapi masalah habit. Masalah besar operasi zebra, semua pelanggaran rata-rata tahu tapi mereka melakukan itu karena sudah kebiasaan yang terbentuk sejak kecil dan kebiasaan itu tidak bisa diselesaikan dengan tanda SIM yang sehari selesai,” tambah AKBP Aldian.(tin/rst)