Menunjang pendidikan arsitektur Prodi Arsitektur dan Prodi Magister Arsitektur Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya gandeng Perpustakaan UK Petra didukung Embassy of the Kingdom of the Netherlands gelar bedah buku: H.L.J.M. Estourgie and Son: Architects in Surabaya and Beyond.
Bedah buku ini berbentuk diskusi dengan menghadirkan dua narasumber yaitu Timoticin Kwanda, Ph.D., dosen di Prodi Arsitektur yang juga penulis buku tersebut; serta Ir. Handinoto, M.T., dosen di Prodi Arsitektur UK Petra, anggota Tim Cagar Budaya Surabaya yang juga banyak menulis buku sejarah arsitektur.
Proses pembuatan buku awalnya inisiatif dari Dr. Pauline K.M. van Roosmalen dari PKMvR Heritage Research Consultancy, Belanda yang hendak meningkatkan kesadaran tentang seorang arsitek Belanda bernama Henri Louis Joseph Marie Estourgie.
Pauline melakukan studi literatur di Belanda yang kemudian menghasilkan daftar bangunan karya arsitek Estourgie.
Kemudian pada tanggal 11-14 Oktober 2017, Timoticin beserta tim mahasiswa dan dosen dari Arsitektur UK Petra melaksanakan workshop dan juga studi lapangan untuk mengidentifikasi dan mencatat keadaan bangunan-bangunan tersebut dengan bantuan dana dari Kedubes Belanda.
Hasil akhir dari rangkaian penelitian tersebut adalah buku: H.L.J.M. Estourgie and Son: Architects in Surabaya and Beyond.
Dalam pembahasan buku, Timoticin memaparkan pentingnya melihat sisi keanekaragaman arsitektur untuk memahami suatu kota.
Ada segelintir nama arsitek yang dikenal sebagai penghasil bangunan kolonial yang menghiasi kota Surabaya saat ini, diantaranya Eduard Cuypers, Marius J. Hulswit dan Arthur Fermont.
Perusahaan konsultan arsitektur mereka banyak mendapatkan proyek di masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Ketiga tokoh inilah yang selama ini dianggap paling berkontribusi pada arsitektur Surabaya. Akan tetapi, diantara ratusan bangunan kolonial yang ada, baru sedikit yang teridentifikasi perancangnya oleh masyarakat dan kalangan akademik.
“Sudah jarang orang menulis tentang bangunan kolonial, padahal saat ini masih banyak bangunan kolonial. Masih ada ratusan di Surabaya. Saya senang masih ada orang yang peduli dengan karya arsitektur kolonial Belanda,” papar Handinoto.
Buku Timoticin berisi paparan kronologis perjalanan karir Estourgie dan karya-karyanya. Estourgie sendiri lahir di Amsterdam pada tanggal 17 Desember 1885. Ia berkuliah di Universitas Delft.
Pada tahun 1906-1926, Estourgie tercatat bekerja pada kantor arsitek Cuypers di Amsterdam. Beberapa karya Estourgie saat berada di bawah bendera Cuypers ini adalah gedung di ujung jalan Kembang Jepun, Balai Kota, dan beberapa gedung di kawasan Darmo.
Pada tahun 1921 Estourgie ditunjuk Cuypers mejadi kepala cabang perusahaannya di Surabaya. Karya Estourgie di masa tersebut adalah gedung yang saat ini menjadi kantor PT. Perkebunan Nusantara XI di Surabaya; Gedung Biara Suster Ursulin yang dibuka pada tahun 1922, saat ini dikenal dengan gedung sekolah SMA St. Maria Surabaya; serta gedung sekolah St. Louis yang dibuka tahun 1923.
Periode penting selanjutnya adalah masa Estourgie keluar dari perusahaan milik Cuypers dan mendirikan firma Rijksen & Estourgie (1926-1934) bersama rekannya sesama pekerja di Cuypers.
Karyanya pada periode ini adalah gedung Gereja Pregolan; gedung Biara Ursulin di Malang yang saat ini menjadi gedung sekolah SMP & SMA Cor Jesu I Malang.
Ciri khas rancangan Estourgie nampak jelas yaitu karakteristik bangunan neo-gothik, menara dengan ujung berbentuk spire (piramid/kerucut), serta pemakaian rose window (jendela melingkar dengan ornamen menyerupai bunga mawar).
Unik bagi Estourgie, di periode ini ia juga mengerjakan bangunan Istana Kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong.
Sesi diskusi ditutup dengan tampilan data bahwa 17 bangunan publik di Surabaya dan sekitarnya didesain oleh Estourgie, yaitu: 10 sekolah, 3 gereja, 2 rumah sakit, 1 istana, dan 1 panti asuhan.
Gedung-gedung tersebut banyak yang masih digunakan secara rutin sampai dengan saat ini. Timoticin berkesimpulan bahwa sosok Estourgie adalah salah satu arsitek terkemuka abad 20 di Indonesia. Akan tetapi ia kurang dikenal dibandingkan arsitek lain.
“Karyanya ada di Surabaya, Jakarta, Semarang, Madiun, dan Bondowoso. Maka dari itu saya sebut Estourgie sebagai sosok arsitek Surabaya and beyond” pungkas Timotichin menutup diskusi yang digelar di Ruang Konferensi 4 Gedung Radius Prawiro lantai 10 UK Petra Surabaya, Jumat (23/11/2018).(tok/ipg)