Yayat Supriatna Pakar Tata Ruang dari Universitas Trisakti mengatakan, kota sebesar Surabaya harus memiliki backbone angkutan massal untuk menunjang mobilitas ekonomi warganya. Oleh karena itu, Surabaya harus tegas memilih moda transportasi apa yang bisa menjadi tulang punggung utama transportasi massal itu.
Namun, semua moda transportasi massal yang dipilih harus mempertimbangkan pengembangan Transit Oriented Development (TOD) sebagai kegiatan ekonomi baru di Surabaya.
“Sebetulnya Surabaya harus punya backbone-nya untuk angkutan massalnya apa. Apakah Surabaya ini pakai BRT (Bus Rapid Transit), MRT (Mass Rapid Transit), LRT (Light Rail Transit), atau Trem. Seharusnya ini terjawab. Setelah itu baru menghitung berapa jalurnya yang menghubungkan semuanya,” katanya ditemui di sela acara di Surabaya.
Yayat mengatakan, kalau BRT maka harus sesuai dengan masterplan tata ruangnya dan tata transportasinya. Misalnya, di Jakarta Bus Trans Jakarta ada 15 koridor, di bogor ada 7 koridor. “Itu menjadi struktur utamanya sebagai angkutan publiknya, baru dikembangkan fidernya,” katanya.
Menurut Yayat, kalau Surabaya mau menghadirkan transportasi massal harus mempertimbangkan TOD dan tata ruangnya. Sebab, keuntungan angkutan massal itu bukan hanya didapat dari tarif. Tapi, bagaimana keberlanjutannya untuk kegiatan ekonomi masyarakat.
“Pengembangan jaringan angkutan massal itu satu paket dengan pengembangan bisnisnya. Harus klop. Kalau di Surabaya lebih cepat naik motor ya naik motor saja,” katanya.
Yayat juga mengingatkan, apakah mobilitas masyarakat Surabaya sudah sedemikian sibuk atau sudah hipermodernitas, sehingga membutuhkan angkutan massal yang cepat dan efektif. “Kalau di Jakarta cepat itu penting,” katanya.
Menurut Yayat, harus ada kajian yang mendalam untuk kebutuhan transportasi di Surabaya. Pemerintah pusat, provinsi dan daerah harus duduk bersama untuk memutuskannya.
“Harus duduk bersama. Makin ditunda, makin macet, dan makin mahal,” katanya. (bid/dim/ipg)