Sabtu, 23 November 2024

Pengamat: Baiq Nuril Tidak Patut Dipidana

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Baiq Nuril Maknun berjabat tangan dengan kerabatnya saat menunggu sidang di ruang tahanan Pengadilan Negeri Mataram, NTB, Rabu (10/5/2017). Foto: Antara

Dr Erdianto Effendi Pengamat hukum pidana dari Universitas Riau mengatakan, apa yang dilakukan Baiq Nuril adalah tergolong membela diri hingga yang bersangkutan tidak patut dipidana.

“Pembelaan diri dapat dibenarkan sebagai alasan pemaaf bagi Baiq Nuril, untuk mengingatkan orang lain akan bahaya yang tengah ia hadapi,” kata Effendi di Pekanbaru, Senin (19/11/2018).

Pendapat itu disampaikannya terkait kasus yang nenimpa Baiq Nuril Maknun (36), korban pelecehan seksual yang divonis melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh MA. Nuril diputus bersalah setelah MA memenangkan kasasi jaksa atas putusan bebas Pengadilan Negeri Mataram.

Menurut Effendi, dilansir Antara, kepentingan umum dapat diperluas tidak sebatas kepentingan umum saja, tetapi termasuk pula konteks hubungan privat yang memiliki hubungan dengan banyak orang.

Hal ini, katanya, sejalan dengan Putusan MA No. 22/PK/Pid.Sus/2011, di mana Prita Mulyasari diputus tidak terbukti melakukan tindak pidana penghinaan karena dianggap semata-mata sebagai perbuatan untuk memberikan peringatan kepada publik agar tidak merasakan apa yang menjadi komplain dari dirinya.

“Demikian pula dalam Putusan MA No. 519 K/Pid/2011, di mana MA menyatakan bahwa tindakan mengirimkan surat yang dianggap penghinaan dalam pengelolaan keuangan di suatu institusi privat tidak bisa dianggap penghinaan karena berhubungan dengan pelayanan yang lebih baik demi kepentingan publik,” ucapnya.

Ia menekankan bahwa dalam perspektif moral dalam agama (Islam), penghinaan memang merupakan perbuatan dosa dan tercela seumpama memakan bangkai saudaranya, akan tetapi dikecualikan dalam keadaan tertentu seperti untuk mencegah bahaya yang disebabkan keburukan seseorang atau untuk membuktikan dalam suatu perkara.

Sementara itu, penerapan UU ITE tidak bisa dipisahkan dari pasal pokoknya dalam KUHP, begitu juga denga UU lain yang memuat sanksi pidana, ia tidak boleh keluar dari prinsip dasar hukum pidana dalam KUHP.

“Khusus dalam UU ITE, putusan MK No. 50/PUU VI/2008 bahwa tafsir pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak dapat dipisahkan dari Pasal 310 dan 311 KUHP,” tuturnya.

Erdianto memandang bahwa penggunaan hukum pidana ibarat pedang bermata dua yang jika digunakan secara keliru akan menyebabkan ketidakadilan. Karena itu, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan keseimbangan antara pelaku dengan korban, “daad dader strafrecht“.

Jangan gunakan hukum pidana jika terkesan crime by government, jangan gunakan hukum pidana apabila kerugian korban tidak jelas.

“Jadi apa yang dilakukan Baiq Nuril Maknun adalah tergolong membela diri, jadi tidak patut dipidana, bahkan pasal 310 KUHP mengecualikan penghinaan dalam hal untuk kepentingan umum dan kepentingan membela diri,” ujarnya.

MA yang merupakan bekas kepala sekolah di mana Nuril menjadi guru honor memvonis Nuril melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE karena dianggap menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan asusila. Atas putusan itu, Nuril yang telah bebas terancam kembali dipenjara dengan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Dengan ketentuan, apabila pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Kasus Nuril merebut simpati banyak pihak.

Sebab, Baiq Nuril sedianya korban dalam kasus pelecehan seksual, dan dia merasa dilecehkan atas telepon dari Kepala Sekolah yang menceritakan mengenai kehidupan seksualnya. Dia terjerat UU ITE karena dianggap telah menyebarluaskan rekaman pembicaraan itu. (ant/nin)

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
35o
Kurs