Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan, suara penyandang disabilitas mental atau gangguan jiwa tidak mungkin bisa dimanfaatkan oknum tidak bertanggung jawab saat pencoblosan pada Pemilu 2019. Arief Budiman Ketua KPU RI mengatakan, kekhawatiran masyarakat ini berlebihan.
Sejumlah pendengar Radio Suara Surabaya merespons informasi bahwa KPU RI akan tetap melakukan pendataan terhadap penderita gangguan kejiwaan sebagai pemilik suara di Pemilu 2019 mendatang. Salah satu dari mereka khawatir, akan ada orang yang memanfaatkan suara penderita gangguan jiwa yang cenderung on off atau kambuhan.
“Itu berlebihan, orang yang menggunakan hak pilihnya di TPS kan tidak sembunyi-sembunyi. Tidak mungkin petugas melakukan hal diluar kewenangannya,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya, Minggu (16/12/2018).
Dia menjelaskan, semua daerah memiliki aturan dan standar yang sama. Begitu juga aturan bagi petugas pendataan yang telah mendapatkan arahan dan sosialisi yang sama. Namun, dia mengakui, supaya pengawasan terhadap pemilih yang memiliki riwayat gangguan kejiwaan lebih optimal, kontrol terhadap petugas harus diperketat.
Sementara, berkaitan sistem pendataan penderita gangguan jiwa Arief Budiman menegaskan bahwa tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki hak pilih. Hanya mereka yang mendapatkan rekomendasi dokter kejiwaan yang berhak menyalurkan suaranya. Sehingga, mereka yang mengalami gangguan jiwa permanen atau berat, tidak bisa memilih.
“Pihak Rumah Sakit (jiwa, red) nanti yang memberikan keterangan, seseorang dengan kondisi seperti itu apakah mampu menggunakan hak pilihnya atau tidak,” ujarnya.
Ketua KPU RI juga mengatakan, KPU RI hanya mendata penyandang gangguan kejiwaan yang sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa atau sedang berada di bawah penanganan dokter maupun perawat. KPU tidak mendata penderita gangguan kejiwaan yang menggelandang di jalanan, yang sampai tidak mengenali dirinya sendiri.
Pada praktiknya, para penyandang disabilitas mental tidak perlu lagi membawa surat keterangan dari dokter saat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sebab, KPU sudah memegang data nama dan alamat para penyandang disabilitas mental sebelum menggelar pemungutan suara.
“KPU tidak akan melayani penderita gangguan jiwa yang dinyatakan tidak boleh menggunakan hak pilihnya,” katanya.
Perlu diketahui, kebijakan KPU RI tetap mendata calon pemilih dengan gangguan kejiwaan sempat menimbulkan polemik dan viral di media sosial. Bahkan sampai muncul ungkapan, “jika pemilihnya menderita gangguan jiwa tidak heran jika calon yang terpilih nanti juga mengalami gangguan jiwa.”
Sebelumnya, Mohammad Amin Komisioner Bawaslu Jawa Timur mengatakan, kebijakan masuknya penderita gangguan jiwa dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) diambil KPU RI sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak ada masyarakat yang kehilangan hak pilihnya.
“Sebab pernah terjadi KPU mencoret nama pemilih, karena adanya informasi bahwa yang bersangkutan gangguan jiwa. Ternyata setelah di-cross check informasi itu tidak benar. Karena itulah muncul kebijakan KPU, penderita gangguan jiwa bisa masuk DPT meski tidak ada surat keterangan,” kata Amin seperti disampaikan Wulan dari Radio Mutiara Jember dalam Jaring Radio Suara Surabaya, Selasa (27/11/2018). (tin/den)