Jumat, 22 November 2024

Dubes: Konflik Suriah Dipengaruhi Fenomena Arab Spring

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Serangan bom di Kota Deir al-Zor, Suriah. Foto: Antara

Djoko Harjanto Duta Besar Indonesia untuk Suriah, menjelaskan bahwa konflik Suriah yang terjadi saat ini disebabkan faktor geopolitik yang dipengaruhi oleh fenomena Arab Spring. Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam seminar bertema Jangan Suriahkan Indonesia yang digelar oleh Ikatan Alumni Syam Indonesia di Jakarta, pada Kamis (1/11/2018) lalu.

Pada pembukaan seminar tersebut, Djoko Dubes menjelaskan sejarah konflik di Suriah yang berawal dari gelombang protes yang dikenal dengan Arab Spring atau Musim Semi Arab di Tunisia, Mesir, dan Libya.

“Skenario Arab Spring tersebut selanjutnya menjalar ke Suriah dengan target menjatuhkan pemerintahan Bashar Al Assad Presiden,” kata Harjanto, dalam pernyataan yang diterima Antara di Jakarta, Sabtu (3/11/2018).

Ia menekankan, semua informasi yang dipaparkan dalam seminar tersebut adalah fakta yang dia peroleh sebagai wakil dari 260 juta rakyat Indonesia di Suriah.

“Tidak ada yang saya kurangi dan tambahkan. Apa yang saya sampaikan adalah fakta yang saya peroleh langsung selama saya menjabat sebagai duta besar Indonesia di Suriah. Manis atau pahit adalah fakta, tanpa ada tendensi mendukung pihak-pihak tertentu,” tegas dia.

Menurut dia, tuntutan demokratisasi di Suriah berubah setelah ditemukan pengunjuk rasa yang membawa senjata di wilayah Dar’aa.

Selanjutnya situasi politik semakin memburuk dengan masuknya berbagai kelompok asing diantaranya ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria) dan Jabhat Al Nusra yang berafiliasi dengan Al-Qaeda serta adanya pengaruh Barat dan Israel.

Ia juga menegaskan, Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, Israel bahkan negara-negara teluk juga mendukung dan mendanai kelompok-kelompok oposisi bersenjata.

“Jadi jelas bahwa konflik di Suriah merupakan konflik yang disulut oleh pihak-pihak asing, konflik geopolitik bukan konflik sektarian Shiah-Sunni,” ujar dia.

Harjanto menggarisbawahi bahwa tugas utama dia di Suriah adalah melindungi WNI yang ada di negara tersebut.

Ahsin Mahrus, salah satu mahasiswa Indonesia di Damaskus yang juga menjadi pembicara di seminar tersebut menceritakan bahwa ketika Harjanto baru tiba sebagai kepala Perwakilan Indonesia di Damaskus, hal pertama yang dimintanya adalah mengunjungi seorang WNI yang berada di penjara Adra yang terletak di jantung wilayah konflik bersenjata dekat Ghouta.

“Saya ingat, pada saat baru tiba di Suriah, hal pertama yang dilakukan Bapak Dubes adalah memastikan keselamatan WNI di Adra. Awalnya tidak ada seorang pun staf yang berani untuk mendampingi beliau, namun karena keberaniannya akhirnya beliau berangkat dengan perlengkapan rompi dan helm anti peluru,” jelas Ahsin.

Pada 2015, Harjanto juga berupaya menembus wilayah Aleppo demi memastikan kondisi WNI di sana serta melakukan evakuasi bagi mereka.

Sementara itu, Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar Suriah di Jakarta, Dr Ziyad Zahrudin, yang juga hadir sebagai narasumber membenarkan pernyataan Harjanto.

“Saya tidak perlu berbicara panjang lebar, apa yang dikatakan Dubes Djoko benar. Perang sudah berlangsung lebih dari tujuh tahun dan segala macam cara telah dilakukan oleh pihak-pihak musuh agar Suriah terpecah belah,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Syekh Dr Adnan Al Afyouni Mufti Damaskus yang sekaligus Ketua Dewan Rekonsiliasi Nasional menuturkan, sejak dulu masyarakat Suriah adalah masyarakat yang heterogen dan telah hidup berdampingan dengan damai.

“Sejak lebih dari 1.400 tahun masyarakat Suriah adalah masyarakat yang tidak homogen, tapi hidup damai. Semua agama di Suriah mengajarkan norma-norma dan mendorong masyarakat hidup rukun dan bersatu,” katanya.

Konflik yang terjadi saat ini terutama dipicu oleh kepentingan beberapa Negara, diantaranya terkait kekayaan alam yang dimiliki Suriah, berupa gas alam serta ketakutan yang berlebihan dari Israel akan ancaman keamanan terhadap wilayahnya.

“Sebelum perang pecah masyarakat Suriah hidup sejahtera, pemerintah menjamin keamanan, kebutuhan dasar, kesehatan bahkan pendidikan gratis. Ketika jaminan kebutuhan pokok, kesehatan dan pendidikan serta keamanan telah terpenuhi, satu-satunya celah yang dapat dimainkan adalah agama,” jelas Syekh Adnan.

Dia berpesan kepada semua masyarakat Indonesia yang menurutnya telah dianggap sebagai saudara agar berpegang teguh pada persatuan dan kesatuan nasional.

“Kepentingan negara adalah di atas segalanya, kepentingan negara adalah di atas perasaan dan emosi kita,” ujarnya.(ant/tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs