Maraknya penggusuran rumah warga di Surabaya, mendorong Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya membuka sebuah posko pengaduan penggusuran, di Kantor LBH Jalan Kidal Surabaya, Kamis (1/2/2018).
Hal itu dilakukan karena banyaknya pengaduan dari warga, sejak tiga bulan terakhir, yang mulai resah dengan banyaknya penggusuran.
Menurut Wachid Habibullah Koordinator Penanganan Kasus LBH Surabaya, penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria terkait pembagian tanah yang adil dan memperluas hak milik atas tanah masyarakat.
Berdasarkan data BPN sejak akhir tahun 2016, baru 44 persen tanah di Indonesia yang bersertifikat yang justru melegitimasi adanya penggusuran kepada masyarakat karena tidak mempunyai sertifikat.
“Penggusuran tidak sesuai dengan prosedur, misalnya penggusuran pada warga, terlebih yang sudah tinggal selama 20-30 tahun. Seharusnya, berurusan langsung dengan pengadilan, bukan Pemkot. Jadi penggusuran itu harusnya dilakukan juru sita pengadilan. Kalau Pemkot yang melakukan, jelas melawan hukum,” kata dia.
Warga yang telah menghuni di pemukiman tersebut, kata Wachid, rata-rata sekitar 20-30 tahun. Sehingga, berdasarkan hal tersebut penguasaan secara fisik oleh masyarakat atas lahan, seharusnya dapat diterbitkan sertifikat hak milik atas lahan sesuai Pasal 24 PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
“Seharusnya BPN menerbitkan sertifikat atas penguasaan fisik tersebut kepada warga,” tambahnya.
Menurut Resolusi Nomor 2004/28 Komisi HAM PBB, lanjut Wachid, penggusuran paksa merupakan bentuk pelanggaran HAM berat terutama hak atas tempat tinggal dan penghidupan yang layak. Bahkan UUD NRI Tahun 1945 mewajibkan pemerintah melindungi hak asasi setiap warga negaranya.
Wachid mengatakan Pemkot Surabaya belum mampu untuk memberikan solusi atas penggusuran serta memberikan ganti untung yang layak kepada korban. Sehingga kebijakan penggusuran, semakin menambah kemiskinan serta penurunan derajat kesejahteraan hidup, karena harus kehilangan rumah dan pekerjaan.
“Menurut saya rusun yang disediakan oleh Pemkot itu masih kurang uji kelayakannya. Disisi lain juga membebani masyarakat karena uang sewa yang nantinya tiap tahun naik. Itu juga berdampak pada ekonomi dan pendidikan masyarakat. Mereka akan jauh dari tempat kerjanya, sedang anaknya juga jauh dari sekolahnya,” pungkasnya. (ang/rst)