Robikin Emhas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan sesama ulama jangan saling merendahkan karena beda dalam menentukan pilihan politik.
Ulama jangan dilihat dari organisasi atau tempatnya bernaung, tapi harus dilihat keilmuan dan kelakuannya.
Ulama itu tidak ada sertifikatnya, tapi terbentuk secara alami berdasarkan kealiman dan ilmunya. Ulama tidak harus NU dan ada embel-embel KH di depan namanya, kata Robikin.
Menurut Robikin, Ulama adalah bahasa Arab. Jama’ (plural) dari kata ‘alim. Artinya orang yang menguasai disiplin Ilmu tertentu dan mengamalkannya (mempraktikannya) dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perjalanan kebudayaan, predikat ‘alim atau ulama dilekatkan kepada orang yang menguasai di bidang ilmu agama dan secara sosial layak menjadi panutan masyarakat. Hal itu disebabkan karena orang dimaksud dinilai kredibel dan konsisten dalam mengamalkan ilmu agamanya.
Penguasaan ilmu agama, konsisten, kredibel dan panutan adalah kata kuncinya. Karena tidak semua orang yang menguasai ilmu agama layak disebut ‘alim atau ulama.
Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda dan ahli politik imperialis dikenal sebagai orang yang belajar dan menguasai Al-Qu’ran. Namun tak siapapun menyebutnya sebagai pribadi yang ‘alim. Mengapa? Karena ia tidak mengamalkan ilmu yang dipelajarinya. Bahkan mempelajari Al-Qur’an untuk maksud dan tujuan yang berbeda sehingga tidak menunjukkan adanya konsistensi pada dirinya. Untuk itu tak ada masyarakat menjadikannya sebagai panutan.
Hal lain yang tak kalah panting, predikat ‘alim atau ulama dalam sejarahnya tidak lahir dari rekayasa sosial, apalagi dimaksudkan demi kepentingan duniawi berupa pencitraan politik misalnya.
Predikat ‘alim atau ulama adalah status sosial, bukan jabatan politik atau gelar akademik. Sebab predikat ‘alim atau ulama secara alamiah lahir dari rahim sosial. Bukan dilahirkan atas dasar kesepatakan bersama dalam suatu forum permusyawaratan.
Haedar Nasir, Ketua Umum PP Muhammadiyah mengatakan di Muhammadiyah, banyak kadernya yang berpredikat ulama, tapi tidak ada yang mengklaim sebagai ulama.
Ulama bukan dilihat dari simbul atau atributnya, tapi terletak pada ilmu dan perbuatannya sehari sehari, kata Haedar.(jos/iss/ipg)