
Beberapa poin di dalam draft Rancangan Peraturan Gubernur Jawa Timur tentang Ojek Online dinilai berpotensi menghambat laju perkembangan layanan tersebut sebagai bagian dari ekonomi digital.
DR Radian Salman Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Negeri Airlangga Surabaya mengatakan, setidaknya ada tiga poin penting draft Rapergub itu menjadi isu yang perlu dipertimbangkan kembali.
“Terutama poin tentang pengaturan tarif batas atas batas bawah, yang perlu dilihat dari beberapa sisi. Dari sisi masyarakat, apakah masyarakat memang keberatan dengan isu tarif ini?” katanya.
Menurutnya, masyarakat tidak terlalu risau dengan isu tarif baik batas atas maupun batas bawah. Buktinya, masih banyak masyarakat yang menggunakan layanan ojek online.
Kalau hal itu berkaitan dengan hubungan antara penyedia aplikasi dengan mitra pengemudinya, dia mengatakan, hal ini malah perlu dikoreksi.
“Karena hubungan antara penyedia aplikasi dengan mitranya berdasarkan perjanjian kerja sama kemitraan. Kalau masalah tarif ini berdasarkan perjanjian ini, maka yang bisa menyelesaikannya adalah kedua pihak yang terikat perjanjian,” ujarnya.
Menurut Radian, ada prinsip keseimbangan pada pihak yang harus dibicarakan. Mitra maupun penyedia aplikasi harus saling membuka diri mengenai persoalan tarif ini.
Dalam konteks pengaturan tarif oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam bentuk Rapergub Ojek Online, pemerintah berpikir untuk mengaturnya seperti angkutan umum.
“Sah saja karena pengaturan ini melibatkan pihak-pihak terkait. Baik penyedia aplikasi maupun mitranya. Tetapi kedua pihak ini tetap terikat pada perjanjian kerja sama kemitraan,” ujarnya.
Poin kedua berkaitan sanksi yang diatur dalam draft Rapergub Ojek Online. Sanksi ini mengarah pada penyedia aplikasi. Padahal, penyedia aplikasi hanya tunduk pada rezim tanda daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika.
“Kalau sanksi ini kemudian diatur juga di daerah, secara gamblang sanksi ini akan ompong. Seperti macan ompong dalam hal penerapannya kepada penyedia aplikasi,” katanya.
Radian mengajak orang lain untuk membayangkan bila di kemudian hari masing-masing daerah menerapkan pengaturan sanksi untuk penyedia aplikasi. Maka sanksi untuk penyedia aplikasi semakin banyak.
“Dampaknya tentu saja, dari sisi iklim usaha akan menjadi pertanyaan. Dari sisi perkembangan teknologi orang akan merasa dihambat, sehingga ini menjadi disinsentif bagi pengembangan inovasi,” katanya.
Poin ketiga menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah. Yakni tentang keselamatan penumpang dan ketertiban umum. Hal ini, menurut Radian seperti meminjamkan tangan.
Maksudnya, pemerintah yang berperan memastikan keamanan penumpang dan ketertiban umum bisa menitipkan penekanan ketaatan lalu lintas angkutan jalan kepada penyedia aplikasi.
“Pemerintah titip dan menekan supaya penyedia aplikasi memasukkan aturan lalu lintas angkutan jalan dalam perjanjian dengan mitranya. Apalagi karena pada hakikatnya penyedia aplikasi bukan sebagai perusahaan penyedia transportasi,” ujarnya.
Karena itu juga, bila ada mitra penyelenggara aplikasi yang melanggar ketentuan lalu lintas angkutan jalan, sanksi tidak bisa dibebankan kepada penyedia aplikasi.
“Misalnya ada yang kendaraan tidak laik jalan. Penyedia aplikasi ini tidak dalam kompetensi untuk melaksanakan uji kelaikan kendaraan. Jadi sanksi yang bisa diterapkan, selain tilang dari pihak kepolisian adalah sanksi yang dilakukan penyedia aplikasi sesuai perjanjian yang disepakati dengan mitranya,” katanya.
Secara pribadi, Radian mengaku setuju bila ketentuan lalu lintas angkutan jalan ini dimasukkan dalam draft Rapergub. Kelengkapan surat kendaraan, SIM, helm SNI dan lain-lain itu, menurutnya mutlak harus dipatuhi mitra pengemudi.
Dalam posisi ini, pemerintah menurut dia memang tidak bisa membiarkan keadaan tanpa adanya peraturan sama sekali. Pemerintah harus melakukan pengaturan.
“Gubernur dan kepala daerah bisanya masuk di ranah ini ya pada hal yang disebut tadi itu, memastikan ketertiban umum,” katanya.(den/tin)