Jumat, 22 November 2024

Terdakwa Kasus Korupsi BLBI Hadapi Vonis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Syafruddin Arsyad Temenggung mantan Kepala BPPN terdakwa kasus korupsi dana talangan BLBI, bersiap menyampaikan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/5/2018). Foto: dok/Farid suarasurabaya.net

Syafruddin Arsyad Temenggung mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Senin (24/9/2018), menghadapi vonis majelis hakim pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Amar putusan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), akan dibacakan Hakim Yanto selaku ketua majelis hakim, bersama hakim anggota.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menuntut hakim memvonis pidana 15 tahun penjara serta denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan kepada terdakwa.

Jaksa menilai, Syafruddin sudah memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), sebagai debitur BLBI.

Faktor yang memberatkan tuntutan, Syafruddin dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas korupsi.

Jaksa juga menilai Syafruddin sebagai pelaku aktif dalam penerbitan SKL, sehingga merugikan keuangan negara. Selain itu, selama persidangan Syafruddin dianggap tidak berterus terang serta tidak menyesali perbuatannya.

Sementara, faktor yang meringankan, Syafruddin belum pernah dihukum, dan dianggap berlaku sopan selama persidangan berlangsung.

Dalam nota pembelaannya, Syafruddin menilai KPK tidak berwenang mempersoalkan perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA), yaitu perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset obligor.

Menurutnya, KPK cuma bisa melaporkan temuan pelanggaran perjanjian MSAA yang dilakukan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), kepada pemerintah.

Syafruddin menganggap, KPK sengaja mengabaikan fakta hukum dengan menetapkannya sebagai tersangka.

Sekadar diketahui, kasus ini berawal dari BDNI yang mendapatkan dana BLBI sebanyak Rp5,4 triliun, pada tahun 1997. Lalu, Rp4,8 triliun digunakan untuk membantu para petani tambak udang dalam bentuk pinjaman/kredit.

Dalam prosesnya, Jaksa KPK menyebut pembayaran kredit para petambak udang itu macet, dan kewajiban membayar utang pinjaman tidak sampai lunas.

Tapi, Syafruddin menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang menyatakan Sjamsul Nursalim pemegang saham BDNI, sudah melunasi utangnya kepada negara.

Padahal, BDNI baru membayar Rp1,1 triliun dari total utang Rp4,8 triliun. Sehingga, ada selisih Rp3,7 triliun yang belum dikembalikan.

KPK menilai, tindakan Syafruddin itu sudah merugikan keuangan negara sebanyak Rp4,5 triliun berdasarkan hasil audit BPK tahun 2017. (rid/dwi/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs