Pengadilan Tipikor Jakarta, hari ini kembali menggelar sidang perkara tindak pidana korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dengan agenda penyampaian eksepsi Syafruddin Arsyad Temenggung terdakwa.
Syafruddin mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), didakwa merugikan keuangan negara karena memberikan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau surat keterangan lunas, kepada Sjamsul Nursalim pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang tercatat sebagai debitur BLBI.
Dalam nota keberatan yang dibacakan secara bergantian, tim kuasa hukum Syafruddin mempersoalkan konsistensi laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2002 dan 2006, serta audit investigasi tahun 2017.
Menurut pengacara Syafruddin, laporan BPK tahun 2002 menyatakan ikatan perdata BDNI sudah final closing pada tanggal 25 Mei 1999 dengan adanya Release and Discharge. Sementara, dalam audit tahun 2006, BPK menilai BPPN bisa menerbitkan Surat Keterangan Lunas kepada BDNI.
Alasannya, karena Sjamsul Nursalim sudah memenuhi perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA), dan sesuai dengan kebijakan pemerintah.
“Audit BPK berpendapat bahwa SKL layak diberikan pada Sjamsul Nursalim, karena telah sesuai kebijakan pemerintah dan Inpres Tahun 2002,” kata Ahmad Yani, saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/5/2018).
Sedangkan, berdasarkan audit investigasi yang dilakukan BPK tahun 2017 atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditemukan adanya kerugian negara Rp4,5 triliun.
Pengacara Syafruddin menilai, audit BPK tahun 2017 tidak bisa dijadikan dasar untuk menjerat hukum kliennya dengan tuduhan merugikan keuangan negara.
Menurut Ahmad Yani pembela terdakwa, kerugian negara bukan karena penerbitan SKL, tapi akibat penjualan piutang BDNI kepada petani tambak udang.
“Laporan Audit Investigatif BPK tahun 2017 tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26,” tegas pengacara.
Pada persidangan sebelumnya, Senin (14/5/2018), Tim Jaksa KPK mendakwa Syafruddin melakukan perbuatan melawan hukum terkait penerbitan surat keterangan lunas.
Awalnya, BDNI mendapatkan dana BLBI sebanyak Rp5,4 triliun, lalu Rp4,8 triliun digunakan untuk membantu para petani tambak udang dalam bentuk pinjaman/kredit.
Dalam prosesnya, Jaksa menyebut pembayaran kredit para petambak udang itu macet, sehingga kewajiban membayar utang pinjaman tidak sampai lunas.
Tapi, dengan berbagai pertimbangan, Syafruddin malah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang menyatakan Sjamsul Nursalim sudah melunasi utangnya kepada negara.
Padahal, BDNI baru membayar Rp1,1 triliun dari total utang Rp4,8 triliun. Sehingga, ada selisih Rp3,7 triliun yang belum dikembalikan.
KPK menduga, tindakan Syafruddin sudah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, hingga mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp4,5 triliun berdasarkan hasil audit BPK.
Sekadar diketahui, perkara BLBI ini sebelumnya pernah ditangani Kejaksaan. Tapi, upaya pengusutan tidak berlanjut karena Jaksa Urip Tri Gunawan Ketua Tim Penyidik Kejaksaan, menilai tidak ada kerugian negara.
Belakangan diketahui kalau Jaksa Urip menerima suap dari Artalyta Suryani alias Ayin orang kepercayaan Sjamsul Nursalim, untuk menghentikan pengusutan kasus tersebut. (rid/dwi)