Senin, 25 November 2024

Tantangan Musisi di Era Serba Digital

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Yuril Ayunir Music Director di Yuril Ayunir Music Design Studio yang menyampaikan tantangan musisi di era digital. Foto: Gana suarasurabaya.net

Ada jajaran tuts keyboard atau piano tertempel di tembok depan pintu masuk bangunan rumah itu. Tuts itu tentu saja tidak bisa dimainkan. Itu hanya bagian dari ornamen bangunan.

Bangunan itu berada di Jalan Karang Wismo nomor 14, Surabaya. Barangkali tidak banyak yang menduga, di bangunan itu beberapa band dan penyanyi populer di masanya, seperti TIC Band juga Almarhum Yanni Libels, merekam lagu-lagu hits-nya.

Di bangunan itulah Yuril Ayunir Music Design Studio berada. Nama Ayunir, bagi sebagian orang yang akrab dengan musik, akan mengingatkan pada nama besar Andy Ayunir, komposer, music arranger, sekaligus produser musik yang telah mewarnai kancah musik tanah air.

Studio rekaman itu adalah milik Yuril Ayunir, kakak kandung Andy Ayunir. Bagi musisi di Surabaya, dan juga sebagian musisi nasional, nama Yuril Ayunir sudah tidak terlalu asing.

Bagi Radio Suara Surabaya, di studio Yuril Ayunir inilah beberapa jingle yang telah dikenal, bahkan mungkin dihafal, masyarakat pengakses Suara Surabaya Media diproduksi.

Akhir Februari menjelang sore, suarasurabaya.net berkunjung ke studio itu. Masuk melewati pintu yang bukan pintu utama, ada banyak peralatan studio dan alat musik yang diletakkan di sekujur ruangan.

Melewati lorong rumah hingga ke bagian paling belakang, ada kesan semrawut di sana. Tapi bukan karena kotor, tapi karena banyaknya alat musik.

Yuril Ayunir dan tim telah menunggu di studio. Ada Perry Patty sound engineer di studio itu, dan seorang pria yang mengenalkan diri bernama Bayu, vokalis Yuril Ayunir Band.

Ariani Mestikasari, istri Yuril sekaligus Keyboardis Yuril Ayunir Band turut menyambut kedatangan tim suarasurabaya.net. Keempatnya memberikan sambutan yang sangat hangat.

Di dalam studio, Yuril sebagai music director di studio itu menunjukkan hasil aransemen atas lagu hymne ciptaan seorang dosen sejarah Unair.

Dia membuka file mentah lagu yang dinyanyikan sendiri oleh si dosen dan membandingkannya dengan file rekaman yang telah diaransemen di studionya. Aransemen musik hymne itu tetap mewakili nada dan lirik sang dosen, tapi menjadi sangat renyah didengarkan.

“Saya gabungkan unsur jazz dan etnik untuk mengaransemen musik ini. Musik ini, apa, ya, mungkin seperti hymne untuk kebutuhan perkuliahannya, ya,” katanya.

Dalam hal mengaransemen lagu, Yuril mengatakan, idealnya dia dan timnya membutuhkan waktu selama dua minggu. Dari aransemen, recording, mixing, sampai mastering.

Seiring perkembangan teknologi, Yuril, yang telah puluhan tahun menggeluti dunia musik, mengaku merasakan terjadi perubahan dalam hal proses produksi sebuah musik.

Di masa kejayaan semua peralatan recording berbasis analog, proses produksi musik akan berkutat pada proses rekaman yang dijalani oleh musisi.

Untuk sebuah lagu, musisi akan melakukan rekaman, rekaman ulang, berkali-kali, berjam-jam supaya hasil rekaman itu sesuai dengan yang diinginkan.

Sekarang, dengan kecanggihan teknologi digital, proses produksi musik justru lebih lama di mixing. Mixing adalah proses di mana hasil rekaman setiap instrumen musik disatukan.

Dengan semakin banyaknya aplikasi mixing digital, maka hasil rekaman dari musisi bisa diolah hingga mencapai hasil yang sulit dicapai oleh peralatan analog zaman dulu.

“Digital hasilnya lebih baik. Tapi kadang-kadang kita jadi lebih banyak pilihan. Soalnya musik jadi bisa digimanain aja. Karena ada target waktu, malah kita yang harus menahan diri,” katanya tertawa.

Dia mencontohkan, dengan perkembangan digital saat ini, take vocal (perekaman vokal) menjadi begitu sederhana dan cepat. Teknologi digital saat ini sudah mampu merekayasa suara fals menjadi tidak fals.

“Kalau dulu ya udah, take vocal ternyata fals, habis sudah. Sekarang kami take vocal yang penting dapat soulnya (penjiwaan) dulu, urusan falsnya belakangan,” ujarnya.

Yuril mengakui, praktik seperti itu sebenarnya kurang etis dilakukan oleh seorang musisi. Kalau bisa, penyanyi harus perfect mulai dari not hingga penghayatan lagu.

“Tapi enggak semua penyanyi bisa kayak gitu. Yang penting sudah dapat penjiwaan lagunya, not-nya bisa kita perbaiki dikit-dikit. Malah sekarang bisa, orang nyanyi sendiri, kita kopi ke bawah, kita bikin suara duanya, suara tiganya, mereka enggak perlu nyanyi lagi,” katanya.

Perkembangan teknologi yang sangat pesat, kata Yuril, akan kembali pada pribadi masing-masing musisi. Dia mengistilahkan, jangan sampai seorang musisi diperbudak oleh alat.

Inilah yang menurutnya berlaku seiring perubahan zaman. Mungkin masyarakat akan menilai, seorang musisi harus punya dasar musikalitas yang kuat. Tapi di zaman serba digital ini, menjadi seorang musisi sudah bukan perkara sulit.

“Saya agak keluar dikit ke fotografi, orang sekarang dengan handphone bisa bikin foto yang bagus, enggak perlu beli tustel (kamera) yang mahal gitu. Nah itu juga kejadian di musik. Kembali lagi, kita mau jadi musisi yang gimana?” Katanya.

Dewasa ini, banyak musisi baru bermunculan seiring perkembangan internet dan media sosial. Ada istilah, musisi sekarang asal viral sudah populer tidak perlu berkualitas.

Urusan yang disebut oleh Yuril sebagai sense of music sekarang bisa jadi sudah menjadi urusan ke sekian. Padahal, untuk membuat musik yang berkualitas, sense musikalitas itu datang seiring jam terbang dan latihan yang keras.

“Sekarang sih, dengan main alat yang sekarang, dengan electone saja, coba, ya, orang bisa bikin irama, bikin segala macam ornamen musik. Tapi itu bisa enak enggak didengar di kuping?” tanyanya.

Yuril yang telah bermusik sejak belia, sampai sekarang mengaku masih sangat berhati-hati menempatkan setiap ornamen musik agar menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat.

Bagaimana menempatkan suara piano, bas, dan instrumen lainnya supaya tercipta harmoni yang sesuai, pas, sehingga enak didengar di telinga, kata Yuril, adalah perkara sense of music.

“Ya, ya, itu semua ada tempatnya, sih. Musisi yang kelasnya segini, ya dapat porsi kerjaannya ya segini. Pendapat saya, sih, kalau memang mau menjadi musisi, ya, ya, memang harus benar-benar dari basic-nya kita kuasai. Jadi enggak instan, ya. Ya, istilahnya sekarang orang mau yang instan,” katanya.

Perry Patty, sound engineer sekaligus vocal director di Yuril Ayunir Music Design Studio mengatakan hal senada soal kualitas musikalitas seorang musisi.

“Dengan serba digitalnya peralatan recording sekarang, misalnya ‘wah, dia nyanyinya kok biasa aja.’ Kita bisa perbaiki, jadi lebih bagus, tapi nanti kembali lagi ke orang itu. Dia siap enggak?” Kata Perry.

Siapkah musisi itu menerima respons dari orang-orang yang sudah mendengarkan lagunya ketika menyaksikan live performance-nya di atas panggung?

“Karena nanti orang melihat begitu dia live, lho kok tidak sama dengan rekamannya. Nanti orang bilang, ah, ‘penyanyi studio.’ Banyak sih, penyanyi sekarang ini. Begitu live, enggak menjanjikan,” katanya.

Yuril Ayunir dan timnya banyak mengutarakan harapan-harapan, tentang kualitas musisi, juga tentang industri musik tanah air.

Pada peringatan Hari Musik Nasional 9 Maret 2018, Yuril sangat berharap musisi tetap mendapatkan porsi di bidang industri musik di tanah air. Sebab seiring perubahan digital, kesejahteraan musisi sudah sangat tergerus.

“Hari ini kan kondisi industri (musik) sudah agak menurun ya. Kalau dulu musisi bisa berharap dari penjualan album, CD, sekarang dengan adanya era digital sudah berkurang. Akhirnya, jualannya di gerai-gerai makanan,” katanya tertawa.

Dia mengakui, musik untuk produksi film saat ini tetap jalan. Musik jingle untuk berbagai perusahaan juga tetap ada. Termasuk ilustrasi musik untuk video-video seperti company profile sebuah perusahaan.

“Itu juga tetap ada harganya. Tapi kalau kita bandingkan dengan dulu, musisi dengan penjualan CD berkeping-keping, sudah bisa menjamin kesejahteraan. Nah, sekarang album musik hanya untuk eksistensi aja, yang jadi acuan penghasilan adalah perform (pentas),” katanya.

Pada kondisi demikian, masih ada juga masalah pembajakan lagu untuk kepentingan komersial yang merugikan musisi. Pada tahap ini, Yuril mengatakan, itulah yanh masih menjadi PR bersama.

Harapan yang sama disampaikan oleh Bayu, vokalis Yuril Ayunir Band. “Kasihan sudah bikin susah-susah. Kalau bisa yang begitu-begitu itu lebih di, apa, ya, lebih diselametin lagi lah, lebih di-secure lagi,” katanya.

Ariani sebagai Keyboardis Yuril Ayunir Band pun menyampaikan harapannya, agar musisi Indonesia semakin jujur dalam bermusik, tidak menyerah pada keadaan, dan terus maju.

“Misalnya, kalau kita punya karya yang agak sedikit nyeleneh atau gimana, biasanya sama major label itu, oh ini tidak sesuai pasar. Ya kita maju aja terus, bisa lewat jalur indi, kan? Kita berkarya aja terus, nunjukkin kualitas kita sebenarnya,” katanya.(den)

Surabaya
Senin, 25 November 2024
33o
Kurs