Aksi bom bunuh diri di tiga Gereja Surabaya keji merupakan perbuatan yang keji. Korbannya orang-orang tidak bersalah yang salah satunya sedang merencanakan kebahagiaan melalui pernikahan.
Martha Djumani (54) adalah satu dari enam korban ledakan bom bunuh diri oleh Dita Oepriarto di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Jalan Arjuna, Minggu (13/5/2018) pagi.
Martha adalah salah satu staf di GPPS, yang biasa dipanggil Bing-Bing oleh rekan-rekannya di Gereja, yang selalu hadir di setiap kebaktian yang diselenggarakan gereja karena tinggal di Asrama Gereja.
Sehari sebelum perisitiwa memilukan itu, Sabtu (12/5/2018), dia telah melangsungkan pertunangan dengan E. Stefanus Masae yang juga merupakan staf GPPS.
Stefanus Masae (belakang) tunangan Martha Djumani salah satu yang menjadi korban bom di GPPS Surabaya saat mengantar ke pemakaman Martha (Bing-Bing). Foto: Denza suarasurabaya.net
Pendeta Yonathan Biantoro Wahono Tim Gembala Pimpinan GPPS mengatakan, pada hari kejadian itu, Bing-Bing sempat melakukan ibadah sebelum kebaktian dimulai.
“Sekitar jam 05.30 WIB dia melakukan persembahan sama rekannya, Wisda Manik, supaya kebaktian yang akan dilaksanakan membawa berkat bagi jemaat,” katanya usai memimpin prosesi pemakaman di TPU Keputih, Rabu (16/5/2018).
Setelah beribadah, sekitar pukul 06.00 WIB, Bing-Bing membantu petugas lainnya untuk mengabsensi jemaat yang hadir untuk kebaktian dengan cara meminta kartu anggota.
Setelah proses ini selesai, Bing-Bing keluar dari gereja lalu duduk di kursi di bawah tangga. Di sana terdapat meja untuk membagikan buletin kepada jemaat yang baru hadir.
Lokasi ini sangat dekat dengan area parkir dan pos satpam. Lantas masuklah Avanza warna hitam itu. Mobil itu sempat menyerempet Giri, satpam gereja, kemudian dihalangi Daniel lalu meledak.
Bing-Bing mengalami luka yang sangat serius. Dokter di RSUD Dr Soetomo, kata Yonathan, menyatakan luka bakar yang dialami Bing-Bing dengan tingkat keparahan 98 persen.
Dokter sempat berupaya menyelamatkan nyawa Bing-Bing tapi pada akhirnya takdir berkata lain. Perempuan itu dinyatakan meninggal Senin (14/5/2018).
Saat pemakaman di TPU Keputih Senin pagi sekitar pukul 10.00 WIB, E. Stefanus Masae, tunangan Bing-Bing, tampak tegar. Entah apa yang dia rasakan.
Kepada suarasurabaya.net Stefanus mengatakan, pada saat kejadian bom bunuh diri Minggu pagi itu dia tidak berada di GPPS. Padahal sehari-hari dia bersama Bing-Bing selalu bertugas bersama-sama.
“Saya sedang ditugaskan di kawasan Benowo,” kata pria yang tinggal di Benowo itu dengan bibir agak bergetar. Seperti berupaya menyembunyikan kesedihan dari wajahnya.
Matanya tampak berkaca-kaca ketika pria itu menjawab pertanyaan, bahwa mereka (dia dan Bing-Bing) sudah merencanakan pernikahan pada September mendatang.
Stefanus tampak begitu akrab dengan keluarga Bing-Bing yang pada hari pemakaman, beberapa di antaranya menangisi kepergian Bing-Bing.
“Terima kasih, jangan sampai putus ya, kita sudah menjadi saudara baru,” kata Stefanus kepada salah satu keluarga Bing-Bing yang mengucapkan dukungan kepadanya agar tetap bersabar.
Apa yang dialami oleh Bing-Bing dan Stefanus sangat tragis dan mengharukan. Tidak bisa disalahkan bila beberapa warga Surabaya mengekspresikan perlawanan terhadap terorisme dengan menyebut “Teroris Jan***!” sebagai luapan emosi. (den/tna/ipg)
Teks Foto:
– Sebuah baliho di kawasan Panjang Jiwo Surabaya yang mengekspresikan perlawanan terhadap terorisme.
Foto: Istimewa