Jumat, 22 November 2024

Sebagian Warga Jarak Dolly Merasa Didiskriminasi oleh Pemkot Surabaya

Laporan oleh Anggi Widya Permani
Bagikan
Posko pengaduan terkait perampasan hak ekonomi warga setempat, di Jalan Jarak No. 39 Surabaya, Selasa (6/2/2018). Foto: Anggi suarasurabaya.net

Sejumlah warga di kawasan eks Lokalisasi Jarak Dolly yang telah membuka posko pengaduan terkait perampasan hak ekonomi warga setempat di Jalan Jarak Nomor 39 Surabaya, Selasa (6/2/2018), mengaku telah menjadi korban diskriminasi oleh Pemkot Surabaya.

SA Saputro Perwakilan dari Komunitas Pemuda Independent (KOPI) mengatakan, posko itu dibentuk berdasarkan pengaduan warga Jarak Dolly untuk mengajukan aspirasi mereka mengenai kondisi pascapenutupan lokalisasi Dolly sekitar tiga tahun lalu.

Saputro mengklaim, Pemerintah Kota Surabaya selama ini tidak memberikan kebijakan sosial untuk mensejahterakan warga. Warga Jarak Dolly merasa didiskriminasi oleh janji-janji Pemerintah.

“Kami bukan mau menuntut dibukanya Dolly seperti dulu. Kami setuju, kalau Dolly dialihfungsikan. Tapi mana janji Pemerintah Kota Surabaya, yang katanya ada pabrik sepatu, kampung batik? Itu tidak pernah ada. Kalaupun ada, hanya dua sampai tiga orang saja yang terlibat, itu pun orang luar. Sekarang saja sudah tutup, tidak ada produksi,” kata Saputro, kepada suarasurabaya.net.

Saputro menambahkan, pihaknya telah melakukan gugatan hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab dengan menuntut hak sebesar Rp2,7 triliun.

“Kenapa kami minta sebesar itu, karena ini sudah tiga tahun dan tidak ada kejelasan. Hari ini saya punya data dan kami menggugat di pengadilan. Kami sudah laporkan ke Mabes Polri dan Komnas HAM. Ini bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, baik kekerasan fisik dan perampasan hak ekonomi. Kami juga akan mengajukan gugatan tipikor, terkait penyalahgunaan wewenang tanah-tanah yang dibeli untuk dijadikan taman,” kata dia.

Menurut Saputro, saat ini, kondisi di Jarak Dolly masih terdapat cukup banyak anak-anak yang putus sekolah karena orang tuanya tidak bekerja.

“Dulu saat prostitusi ada, anak-anak Jarak Dolly itu jam 9 malam sudah pulang, tidur di rumah. Tapi sekarang, anak-anak dibawah umur, jam satu malam masih keluyuran di luar. Ini bentuk konkrit kegagalan Pemerintah Kota Surabaya dalam mensejahterakan warga Dolly,” tambahnya.

Sementara itu, Anik seorang perempuan yang pernah bekerja di lokalisasi Dolly mengiginkan keadilan terkait penutupan prostitusi di Surabaya.

“Saya setuju, kami mau dialihfungsikan profesinya. Tapi mana, belum kami dapatkan. Sementara di tempat-tempat lain seperti di Kedungdoro, Darmo Park yang berkedok musik karaoke, pijat dan sebagainya, masih tetap buka. Katanya Surabaya bersih, tapi mana. Kami buka musik karaoke, kafe-kafe kecil saja, setiap hari dioperasi, ini tidak adil,” kata Anik.

Menanggapi hal itu, Saputro berharap Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya berkenan menemui warga Jarak Dolly untuk membicarakan hal tersebut.

“Kuasa hukum kami yang akan mengundang Bu Risma. Bukan hanya mengundang Pemerintah Kota Surabaya, kami juga mengundang camat, lurah, Satpol PP, dan Polisi. Kami harap ada iktikad baik dari Pemkot. Kalau tidak, kami akan memproses secara hukum. Kami sudah masukkan gugatan 23 Januari kemarin,” pungkasnya. (ang/iss/den)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs