Budi Setiyadi Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan menegaskan jika antara Ojek Online (Ojol) yang tergabung dalam Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia (Garda) sudah bertemu dengan pemerintah untuk membicarakan soal tarif dan penghasilan. Hanya saja ada perbedaan persepsi antara Garda dengan pihak aplikator.
“Ketika menjadi driver mereka sudah ada kesepakatan (MoU) dengan pihak aplikator. Hanya saja kebanyakan pengemudi tidak memahami substansi MoU itu, sehingga terus protes agar penghasilannya ditingkatkan,” ujar Budi dalam Forum Legislasi di gedung DPR RI , Senayan Jakarta, Selasa (24/4/2018).
Selain Budi Setiyadi dalam diskusi dengan tema Solusi Ojek Online, Revisi UU LLAJ atau Perpres? hadir juga Fary Djemy Francis Ketua Komisi V DPR RI (Gerindra) dan Darmaningtyas pengamat transportasi.
Menurut Budi, demo ojek online pada Senin (23/4/2018) itu sebagai kelanjutan dari demo tiga minggu sebelumnya dengan tuntutan yang sama. Mereka sudah bertemu dengan Jokowi Presiden, Moeldoko Kepala Staf Kepresidenan, Hanif Dakhiri Menaker RI, Menkominfo, dan pihak aplikator Gojek, dan Grab.
Tapi, kalau perbaikan tarif prosesnya panjang karena harus merevisi Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), dimana mereka minta tarif perkilomter-nya Rp 4000,- sedangkan taksi saja Rp 3.500,- . Dimana UU No, 22 tahun 2009 itu belum mengatur soal bisnis online.
Bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu tidak bisa karena otomatis akan mengganggu persaingan usaha. Karena itu Gojek dan Grab sepakat untuk perbaikan penghasilan.
Untuk perbaikan penghasilan itu kata Budi, sebenarnya bisa dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana diterapkan di Balikpapan, Kalimantan Timur. Peluang itu melalui pasal 65 ayat 1 UU No.23 tahun 2001 tentang Perda.
Khusus aplikasi merupakan kewenangan Kominfo RI, dan Kominfo hanya mendaftar, tidak ada sanksi dan tak bisa memblokir. Karena itu diperlukan aturan baru agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pengemudi, aplikator, pemerintah, dan masyarakat.
Sementara itu, MoU itu kalau merugikan salah satu pihak kata Dedi, maka Kemenkumham RI yang mesti membahas dengan pihak aplikator, karena hal itu menjadi tugas Kemenkumham RI.
Fary Djemi Francis meminta agar masalah transportasi online ini mempunyai kepastian aturan. Sebab, sejak tiga tahun lalu belum ada solusi.
“Aturan antara aplikator dengan pengamudi itu seperti apa? Semua harus kembali kepada asas ekonomi kekeluargaan. Jangan sampai pengemudi mengeluh karena merasa menjadi sapi perahan perusahaan,” ujar Fary.
Selama ini, kata Fary, pengemudi tidak berdaya karena semua menjadi kewenangan pihak aplikator. Karena itu DPR sudah mengajukan rencana revisi UU LLAJ dan sudah dikaji oleh badan keahlian DPR RI.
“Selama ini sepeda roda dua itu tidak disebut sebagai alat transportasi,”pungkasnya. (faz/ino/ipg)