Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang ada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hari ini, Senin (5/3/2018), kembali menggelar sidang perkara merintangi pengusutan tindak pidana korupsi, dengan terdakwa Fredrich Yunadi.
Agenda sidang lanjutan adalah pembacaan putusan sela majelis hakim atas eksepsi yang diajukan terdakwa dan penasihat hukumnya, terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kalau majelis hakim menerima nota keberatan terdakwa, maka sidang perkara ini tidak dilanjutkan. Sebaliknya, sidang berlanjut ke tahap pembuktian kalau hakim menolak eksepsi.
Sebelumnya, Kamis (8/2/2018), Jaksa KPK mendakwa Fredrich dengan sengaja mencegah, merintangi atau berupaya menggagalkan penyidikan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Setya Novanto kliennya.
Fredrich dengan Dokter Bimanesh Sutarjo diduga merekayasa data medis Setya Novanto tersangka kasus korupsi KTP Elektronik, supaya bisa langasung menjalani rawat inap di RS Medika Permata Hijau.
Atas dakwaan itu, dalam eksepsi pribadinya di hadapan majelis hakim yang dipimpin Hakim Saifuddin Zuhri, Fredrich menganggap dakwaan Jaksa KPK cuma asumsi, tidak berdasarkan bukti dan fakta.
Selain itu, Fredrich juga menilai kasus hukum yang menjeratnya merupakan ranah pidana umum, sehingga KPK tidak berhak memrosesnya ke Pengadilan Tipikor.
Atas seluruh poin keberatan pihak terdakwa, Jaksa KPK menyatakan eksepsi itu harus ditolak oleh majelis hakim, seperti diatur Pasal 156 Ayat (1) KUHAP.
Karena, materi serta dalil hukum dalam nota keberatan Fredrich Yunadi dan penasihat hukumnya sudah masuk pokok perkara, yang baru bisa dibuktikan dalam persidangan.
Sekadar diketahui, KPK menetapkan Fredrich Yunadi jadi tersangka karena diduga bekerja sama dengan Dokter Bimanesh Sutarjo, memasukkan Setya Novanto ke RS Medika Permata Hijau, Kamis (16/11/2017).
Dua orang tersebut diduga memanipulasi data medis Setya Novanto, supaya bisa menjalani rawat inap, dan lolos dari pemeriksaan KPK.
Atas perbuatannya, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman paling singkat tiga tahun penjara, dan maksimal 12 tahun penjara. (rid/rst)