Prof. Firmanzah Rektor Universitas Paramadina menyayangkan langkah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis daftar universitas negeri yang terpapar paham radikal.
Menurutnya, itu bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan penyebaran paham radikal/ekstrem di lingkungan kampus.
Pria yang tercatat sebagai rektor termuda di Indonesia itu membandingkan dengan pemerintah Amerika Serikat yang tidak pernah merilis daftar sekolah dengan risiko terjadi serangan brutal.
Padahal, tragedi seperti penembakan oleh murid di lingkungan sekolah cukup sering terjadi dan menjadi perhatian dunia.
Sebagai salah satu opsi untuk menangkal penyebaran paham radikal di lingkungan kampus, kata Firman, Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu memaksimalkan strategi budaya.
“Menurut saya perlu ada rumusan strategi budaya untuk menangkal paparan radikalisme. Saya yakin yang terpapar paham terorisme jumlahnya sedikit, jadi jangan sampai malah yang sedikit itu yang menjadi faktor dominan,” ujarnya dalam diskusi publik yang digelar di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (9/6/2018).
Firman menambahkan, masyarakat Indonesia sudah punya modal berupa toleransi antarsuku dan budaya, serta antarumat beragama.
“Contohnya di Papua, di mana umat Muslim dan non Muslim saling membantu dalam perayaan hari keagamaaan. Di Kudus, masyarakat Muslim tidak memotong sapi pada saat Idul Adha untuk menghormati umat Hindu di sana. Itu kearifan lokal yang bisa diangkat untuk mencegah penyebaran paham terorisme,” paparnya.
Sekadar diketahui, Hamli Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menilai ada tujuh universitas negeri yang teridentifikasi sudah terpapar paham radikal.
Universitas yang masuk daftar diantaranya Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Dia menjelaskan, dulu paham radikal disebarkan di lingkungan pesantren. Sekarang, sasarannya adalah kampus-kampus.
Sementara itu, Mohamad Nasir Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengatakan, radikalisme tidak hanya tersebar melalui perguruan tinggi, tapi juga lewat media sosial. (rid/tna)