Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat di Kota Kitakyushu, Jepang, akan menangkarkan kunang-kunang di Ekowisata Mangrove Surabaya sebagaimana keinginan Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya.
Pada Selasa (3/7/2018), dua orang dari Pemkot Kitakyushu Bidang Lingkungan Hidup dan dua orang dari Biotope Laboratory, LSM Kitakyushu, berkunjung ke Wonorejo.
Bersama Komunitas Nol Sampah mereka mendatangi kawasan muara avur Wonorejo, di mana terdapat hutan mangrove yang dirawat petani tambak dan nelayan Paguyuban Truno Djoyo.
Oogata Anggota LSM Biotope Laboratory mengatakan, salah satu tujuan mereka berkunjung ke Surabaya untuk mengedukasi masyarakat agar lebih peduli kepada lingkungan.
“Kami di Kitakyushu biasa menggelar event seperti ini, mengajak masyarakat tidak membuang sampah sembarangan, serta mengurangi penggunaan plastik,” katanya.
Tapi, yang menjadi tujuan utama mereka datang ke Surabaya, karena adanya permintaan Risma Wali Kota Surabaya supaya masyarakat Surabaya bisa kembali melihat kunang-kunang.
Oogata mengatakan, organisasinya, dengan bekerja sama dengan pemerintah kota, baru-baru ini berhasil menangkarkan kunang-kunang di Kitakyushu.
“Kunang-kunang ada banyak jenisnya. Ada khusus hidup di air yang jernih dan tawar, ada yang bisa bertahan di air yang tidak jernih. Kami perlu lihat dulu, sehingga tahu bagaimana cara penangkarannya,” ujarnya.
Salah satu faktor kedatangan mereka ke Surabaya, karena ada salah seorang anggota Komunitas Nol Sampah yang melaporkan temuan kunang-kunang di hutan Muara Mangrove Wonorejo.
“Kami perlu mengetahui dulu apa jenisnya. Komunitas Nol Sampah sudah melihat, kami perlu mencari lagi,” kata dia di Ekowisata Mangrove Wonorejo.
Soal kondisi air yang mirip dengan yang ada di Ekowisata Mangrove Wonorejo, Oogata mengatakan, mereka (warga Kitakyushu) sudah pernah memiliki pengalaman dengan air kotor sekitar 30-40 tahun lalu.
“Tapi kami tidak memiliki tempat seperti Ekowisata Mangrove Wonorejo, yang mana orang-orang bisa berdatangan ke sini dan makan di sini bersama-sama. Ini luar biasa,” ujarnya.
Perlu diketahui, Kitakyushu merupakan salah satu sister city Surabaya. Berbagai kerja sama telah dilakukan oleh dua kota sejak lama. Bahkan sejak awal 2000-an silam.
Salah satu hasil kerja samanya yang cukup dikenal adalah metode pembuatan kompos rumah tangga yang biasa dikenal dengan nama Keranjang Takakura.
Metode Keranjang Takakura ini memang dikenalkan di Surabaya kali pertama pada 2004 lalu oleh peneliti Jepang yang berasal dari Kitakyushu, yang bernama Koji Takakura.
Kali ini kerja sama kedua kota adalah untuk mewujudkan Taman Kunang-Kunang di kawasan Ekowisata Mangrove yang ada di Surabaya, yang diproyeksikan menjadi Kebun Raya Mangrove pertama di Indonesia.
Tapi untuk mewujudkannya, mewujudkan sebuah tempat yang dipenuhi oleh kunang-kunang, salah satu hal yang harus dibenahi terlebih dulu adalah kualitas air.
Oogata mengatakan, untuk menangani masalah air kotor, seperti yang ada di kawasan hutan Mangrove di Surabaya, yang pernah dilakukan Pemkot Kitakyushu, memang membutuhkan biaya besar.
“Tapi yang harus dimiliki pertama kali adalah pengelolaan air limbah komunal yang letaknya di tengah perkotaan,” ujarnya.
Selanjutnya, kata dia, perlu ada pengelolaan air limbah dengan ukuran lebih kecil di setiap area, misalnya per wilayah kecamatan. Sehingga air dari rumah tangga bisa difilter sebelum dibuang ke sungai.
Oogata menyebutkan, biaya besar yang dimaksud untuk semua upaya perbaikan kualitas air itu bisa mencapai triliunan kalau dirupiahkan.
“Tapi, untuk pengadaan pengelolaan air limbah itu, uangnya bukan hanya dari Pemkot Kitakyushu, tapi juga dari pemerintah Jepang,” ujar Ayabe salah satu perwakilan Pemkot Kitakyushu Bidang Lingkungan Hidup.
Djoestamadji Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya mengatakan, apa yang dikatakan oleh Oogata itu baru hitung-hitungan kasar saja.
“Kami belum sampai ke sana. Tapi setidaknya, kerja sama untuk mewujudkan keinginan Bu Risma tentang Taman Kunang-Kunang, mereka sudah menyanggupi,” katanya.(den/iss/ipg)