Pimpinan DPRD Kota Surabaya menemukan banyak tenaga kontrak (honorer) atau alih daya (outsourcing) di sejumlah instansi yang ada di ibu kota Provinsi Jawa Timur diperlakukan tidak manusiawi.
“Gaji yang diperoleh honorer ini kecil, jauh jika dibandingkan dengan aparatur sipil negara (ASN). Tapi beban kerja honorer jauh lebih besar dari pada ASN. Ini yang saya temukan di lapangan,” kata Masduki Toha Wakil Ketua DPRD Surabaya kepada Antara di Surabaya, Sabtu (4/8/2018).
Menurut dia, perlakuan tidak manusiawi tersebut di antaranya diperlihatkan dengan memberikan pekerjaan tambahan kepada honorer yang semestinya itu dilakukan ASN.
Atas beban kerja tersebut, lanjut dia, tidak jarang di antara para honorer tersebut terpaksa harus merelakan waktu istirahatnya untuk kerja lembur di kantor hingga tengah malam.
“Mereka bahkan diberi pekerjaan rumah, sementara para ASN dengan enaknya tidak diberi tugas itu. Tidak hanya itu, masih banyak perlakuan diskrimintaif terhadap honorer seperti halnya kegiatan out bound di sekolah yang sengsara honorer, tapi yang ASN enak-enakkan,” katanya dilansir Antara
Hingga saat ini, lanjut dia, pihaknya sudah mendapat keluhan adanya perlakukan yang tidak manusiawi terhadap tenaga honorer di 10 kecamatan di Kota Surabaya di antaranya di Kecamatan Krembangan, Pakal, Bubutan dan Dukuh Pakis.
Kebanyakan honorer itu, lanjut dia, bekerja di instansi kesehatan seperti puskesmas maupun rumah sakit dan instansi pendidikan seperti sekolah-sekolah negeri maupun lembaga pendidikan lainnya.
“Ada beberapa honorer yang menemui saya langsung untuk mengutarakan apa yang dialami selama ini. Tapi mereka khawatir dan takut dipecat jika namanya dibeberkan,” ujar politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Seharusnya, kata Masduki, Pemkot Surabaya membuat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (Juklak Juknis) apa yang seharusnya dikerjakan ASN dan apa yang mestinya dilakukan honorer.
Hal ini, lanjut dia, perlu dilakukan agar kepala instansi terkait dan ASN tidak semena-mena terhadap tenaga honorer.
“Jangan menyengsarakan mereka. Apalagi hingga saat ini belum ada kepastian kapan mereka akan diangkat sebagai ASN,” katanya.
Namun demikian, Masduki menilai perlakuan honorer yang ada di dinas atau kantor kecamatan dan kelurahan masih lebih baik. Meskipun terkadang masih ditemukan adanya diskriminasi.
“Melalui komisi A, kami akan mengundang pihak-pihak terkait yang menangani masalah ini. Rencananya Senin depan akan kami laporkan,” ujarnya.
Di sisi lain, Eko Mardiono Ketua Forum Komunikasi Honorer Kategori Dua Indonesia, sebelumnya mengatakan ada sekitar 2.200 pegawai honorer di Surabaya yang belum jelas nasibnya untuk bisa diangkat menjadi ASN karena pemerintah belum mengeluarkan regulasi rekrutmen ASN khusus K2.
Tentunya, lanjut dia, kondisi membuat ribuan K2 harap-harap cemas karena sebentar lagi pemerintah pusat akan akan membuka rekrutmen ASN. Sedangkan UU ASN hanya memungkinkan K2 yang berusia di bawah 35 tahun yang bisa ikut seleksi calon ASN.
“Kami terus mendesak pemerintah untuk memperhatikan nasib K2 agar bisa diterima sebagai ASN,” katanya.
Mia Santi Dewi Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Kota Surabaya mengatakan, sekarang Pemkot Surabaya mengalami kekurangan ASN sekitar 1917 orang, sejak adanya moratorium CPNS 3 tahun lalu.
“Ini karena banyak ASN yang pensiun. Sedangkan penggantinya tidak karena belum ada rekrutmen ASN yang baru,” ujarnya.
Menurut Mia, dengan rencana pemerintah membuka rekrutmen ASN, pihaknya mengajukan ke Menpan RB sebanyak 513 orang. Namun sampai sekarang belum ada jawaban berapa kuota Surabaya yang disetujui.
Terkait nasib K2, Mia mengatakan hingga kini pihaknya belum ada kabar dari Pemerintah Pusat apakah ada jalur khusus untuk K2.
“Sekarang ini masih ada sekitar 2.000 K2 di Pemkot Surabaya,” katanya. (ant/tin/ipg)