Menyusul adanya patahan yang berpotensi menimbulkan gempa di Kota Surabaya, serta berkaca dari bencana alam yang menimpa Lombok, Palu, Donggala dan yang terbaru di sekitar Situbondo, pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya melakukan penelitian terkait kondisi tanah di kota pahlawan.
Penelitian ini dilakukan Dr Ir Amien Widodo dosen Teknik Geofisika ITS dan ditujukan sebagai sarana mitigasi agar bisa menekan kerugian baik materiil maupun nonmateriil akibat gempa.
Ia menjelaskan, penelitian ini didasarkan pada penemuan adanya dua patahan aktif yang melewati Kota Surabaya yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) awal September 2017 lalu.
Kedua patahan tersebut yakni patahan Surabaya dan patahan Waru. Patahan Surabaya meliputi kawasan Keputih hingga Cerme Gresik. Sedangkan patahan Waru mencakup kawasan yang lebih luas, yakni Rungkut, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Saradan, hingga Cepu.
“Dengan adanya data seperti ini, kita harus memetakan dampak akibat gempa yang dihasilkan,” katanya.
Amien menyampaikan selain dipengaruhi kuat oleh struktur bangunan, kondisi tanah juga menjadi parameter untuk melihat efek yang ditimbulkan oleh gempa. Sebab, tanah memiliki karakteristik yang berbeda saat dikenai beban gempa tersebut.
“Tanah memiliki karakter sendiri saat terkena gempa, mereka bisa saja mengalami likuifaksi ataupun amplifikasi,” paparnya dalam rilis yang diterima suarasurabaya.net, Kamis (11/10/2018).
Pria dengan bidang keahlian Geologi Bahaya itu menuturkan, likuifaksi merupakan peristiwa yang terjadi pada tanah yang memiliki lapisan pasir. Di dalam tanah tersebut terdapat air dalam kondisi jenuh yang kemudian akan mendorong ke atas dan mengakibatkan pasir dan air langsung keluar.
“Air itu menjadi bertekanan saat terkena beban gempa,” katanya.
Lebih lanjut, Amien Widodo yang juga merupakan Kepala Laboratorium Geofisika Teknik dan Lingkungan ITS ini mengungkapkan, untuk kawasan Surabaya Timur dan Utara yang jenis tanahnya berupa endapan rawa lebih berpotensi untuk mengalami amplifikasi. Di mana amplifikasi tersebut merambat melalui tanah yang lunak dan menghasilkan amplitudo yang besar.
Pembesaran ini yang nantinya akan memengaruhi energi dari gempa tersebut. “Dengan kata lain, kekuatannya akan berlipat beberapa kali,” katanya.
Mengenai cara pencegahannya, Amien menyebutkan, bahwa pemadatan tanah menjadi salah satu hal yang solutif untuk dilakukan.
Selain itu, penggunaan fondasi tiang pancang pada bangunan bertingkat juga bisa dilakukan untuk mengurangi dampak dari amplifikasi.
“Sebenarnya sudah banyak yang tahu kalau kualitas tanah di Surabaya kurang baik, hal itu terlihat dari tingginya pengurukan tanah sebelum membuat bangunan,” kata pria asal Yogyakarta tersebut.
Dalam penelitian yang masih akan terus berlanjut ini, ia menambahkan bahwa masih ada kemungkinan terjadinya likuifaksi di wilayah Surabaya.
Hal ini selain karena adanya endapan rawa, juga terdapat tanah yang berjenis endapan pasir pantai.
Namun, diakuinya, untuk rincian luas tanah yang terdampak masih belum bisa ditentukan karena penelitian tanah yang berlangsung sifatnya hanya memindai lapisan.
“Kalau dilanjutkan dengan melakukan pengeboran bisa dilihat berapa luas tanah yang berpasir dan sebagainya,” pungkasnya. (nin/bid/rst)