Jumat, 22 November 2024

PHDI Bali Keluarkan Pedoman Hari Suci Nyepi

Laporan oleh Dwi Yuli Handayani
Bagikan
Warga Bali melakukan ritual di Hari Suci Nyepi. Foto: Istimewa

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), yang merupakan majelis tertinggi umat Hindu di Bali, mengeluarkan pedoman pelaksanaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1940 yang jatuh pada hari Sabtu (17/3/2018).

“Pedoman tersebut merupakan hasil rapat pengurus harian dan anggota Forum Welaka (kelompok pemikir) PHDI Bali tentang rangkaian kegiatan ritual Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1940,” kata Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi Ketua PHDI Provinsi Bali di Denpasar, Minggu (4/3/2018).

Ia mengatakan, rangkaian kegiatan ritual hari suci Nyepi disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan di desa pekraman (desa kala patra), termasuk tradisi pada masing-masing desa adat di Pulau Dewata.

Pedoman tersebut disampaikan kepada ketua umum pengurus harian parisada pusat, Gubernur Bali, Ketua DPRD Bali, Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pekraman, Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Bali, bupati dan wali kota se Bali.

Selain itu juga disampaikan kepada Ketua PHDI Kabupaten/kota se Bali, ketua majelis madya desa pekraman kabupaten/kota se Bali, ketua PHDI kecamatan se Bali serta ketua majelis alit desa pekraman kecamatan di Bali.

Dalam pedoman itu disebutkan bahwa Hari Suci Nyepi tersebut diawali dengan mengadakan prosesi “Melasti/Melis” di kawasan pantai, sumber mata air dan danau yang bermakna membersihkan “pratima” atau benda yang disakralkan oleh umat Hindu, selama tiga hari, 14-16 Maret 2018.

Masing-masing desa adat dapat memilih salah satu dari tiga hari yang telah ditentukan tersebut. Demikian juga melasti tidak hanya ke pantai juga dapat dilakukan ke danau atau sumber mata air (kelebutan) yang dinilai suci.

“Umat yang bermukim dekat pantai umumnya melakukan prosesi ‘Melasti’ ke laut, dan yang tinggal di daerah pegunungan melaksanakan ke danau atau ke sumber mata air terdekat,” kata Ngurah Sudiana seperti dilansir Antara.

Sementara masyarakat yang tinggal di tengah-tengah daratan Pulau Dewata jauh dari laut maupun danau, dapat melakukan ritual pembersihan itu ke sumber mata air terdekat.

Setelah “Melasti”, kegiatan berikutnya yang dilakukan adalah “Bhatara Nyejer” di Pura Desa/Bale Agung di desa adat masing-masing, dilanjutkan dengan “Tawur Kesanga” atau persembahan kurban pada hari Jumat (16/3/2018) sehari menjelang Nyepi.

“Tawur Kesanga” itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.

Untuk itu perwakilan dari masing-masing desa pekraman dan kecamatan agar datang ke Pura Besakih sekitar pukul 10.00 waktu setempat dengan membawa tempat tirtha tawur, daksina pejati, perlengkapan persembahyangan serta memohon nasi tawur dan tirta untuk disebarkan serta dipercikkan di wilayah masing-masing.

Ngurah Sudiana menambahkan, kegiatan untuk tingkat kabupaten/kota menggunakan upakara Tawur Agung dengan segala kelengkapannya dilaksanakan dengan mengambil tempat pada Catuspata (perempatan jalan) sekitar pukul 12.00 (tengai tepet).

Untuk tingkat kecamatan menggunakan upakara Caru Panca Sanak yakni dengan lima ekor ayam (panca warna) ditambah itik belang kalung beserta kelengkapannya yang juga dilaksanakan di Catuspata (perempatan jalan) sekitar pukul 12.00 (tengai tepet).

Di tingkat desa menggunakan upacara Caru Panca Sata dengan lima ekor ayam (panca warna) beserta kelengkapannya, atau sesuai dengan kemampuan desa masing-masing dengan mengambil tempat di Catuspata (perempatan jalan) sekitar pukul 18.30 Wita (sandi kala).

Kegiatan ritual tersebut bermakna untuk meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama umat manusia dan manusia dengan lingkungan.

“Tawur Kesanga” yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan “Ngerupuk” yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif “bhutakala” yakni roh atau makhluk yang tidak kelihatan secara kasat mata.

Jika ada masyarakat membuat ogoh-ogoh hendaknya bersifat etis, estetis, religius dan pelaksanaannya merupakan tanggung jawab desa pekraman, adat dan lingkungan masing-masing.

Keesokan harinya, Sabtu (17/3/2018), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1940 dengan melaksanakan “Catur Brata” Penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.

Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (amati karya), tidak menyalakan lampu atau api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (amati lelanguan).

Pelaksanaan “Catur Brata” Penyepian akan diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang) di bawah koordinasi prajuru atau pengurus desa adat setempat, ujar Ngurah Sudiana. (ant/ino/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs