Sabtu, 23 November 2024

PB IDI Menilai Peraturan Pembatasan Layanan BPJS Kesehatan Merugikan Masyarakat dan Dokter

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilham Oetama Marsis Ketua Umum PB IDI memberikan keterangan terkait Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan yang dinilai merugikan masyarakat dan dokter, Kamis (2/8/2018), di Kantor Pusat PB IDI, Jakarta Pusat. Foto: Farid suarasurabaya.net

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyayangkan terbitnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2, 3 dan 5 Tahun 2018, yang mulai berlaku 21 Juli 2018.

Prof.DR.dr Ilham Oetama Marsis Ketua Umum PB IDI mengatakan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan itu berdampak signifikan menurunkan mutu pelayanan kesehatan, sekaligus merugikan masyarakat.

Dalam peraturan tersebut, bayi baru lahir dengan kondisi sehat pascaoperasi caesar atau normal dengan atau tanpa penyulit, dibayar dalam satu paket persalinan.

Kemudian, penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan kalau visus kurang dari 6/18. Tapi, jumlah pasien operasi katarak dibatasi dengan kuota.

Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan juga membatasi tindakan rehabilitasi medis dua kali per minggu, atau delapan kali dalam satu bulan.

“Sebagai organisasi profesi kami menyadari adanya defisit pembiayaan JKN. Tapi, seharusnya hal itu tidak mengorbankan keselamatan pasien, mutu layanan kesehatan dan kepentingan masyarakat,” ujarnya dalam keterangan pers di Kantor Pusat PB IDI, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (2/8/2018).

Menurut Ketum PB IDI, semua kelahiran seharusnya mendapatkan penanganan yang optimal. Karena, bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat bahkan kematian.

“Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3/2018, bertentangan dengan semangat IDI untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi,” paparnya.

Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2/2018 yang membatasi pasien operasi katarak dengan kuota, akan meningkatkan angka kebutaan. Faktanya, angka kebutaan akibat katarak di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

“Kebutaan juga menurunkan produktivitas, dan meningkatkan risiko cedera bagi penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari,” tegasnya.

Sementara itu, pasien yang cuma mendapat pelayanan rehabilitasi medik maksimal dua kali per minggu sesuai peraturan Nomor 5/2018, dirugikan karena tidak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik.

“Kalau tetap dipaksakan, hasil terapi tidak bisa optimal, dan kondisi disabilitas sulit teratasi,” katanya.

Dari sisi dokter, lanjut Dokter Ilham, peraturan itu berpotensi membuat dokter melanggar Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia, karena melakukan praktik kedokteran tidak sesuai standar profesi.

Lalu, kewenangan dokter dalam melakukan tindakan medis diintervensi dan direduksi oleh BPJS Kesehatan.

Selain itu, meningkatkan konflik antara dokter dengan pasien, serta dokter dengan fasilitas pelayanan kesehatan. (rid/tin)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs